Salah satu sifat alamiah yang dimiliki manusia adalah marah. Dalam bahasa Arab, marah diterjemahkan dari kata “ghadlab,” yang dapat diartikan sebagai benci (sukhth), tidak meridlai sesuatu, menggigit (‘adldla), muram (‘abus), dan membengkak. Ibn Mandzur dalam kitab Lisan al-Arab menjelaskan bahwa marah mencerminkan perubahan emosi yang disebabkan oleh kekuatan dan rasa dendam untuk menghilangkan ketegangan di dalam dada.
Ali ibn Muhammad al-Jurjani dalam kitab At-Ta’rifat mendefinisikan marah sebagai “perubahan yang terjadi ketika darah jantung mendidih, untuk menghasilkan kesembuhan pada dada.” Dalam hal ini, marah dianggap sebagai kondisi emosional yang membawa kekuatan untuk mengatasi ketidaknyamanan dalam diri.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menggambarkan hakikat marah dengan mengibaratkannya sebagai nyala api yang diambil dari api neraka Allah. Marah itu bertempat di lipatan hati, seperti bara api di bawah abu. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa marah muncul dari kesombongan dalam hati, dan siapa pun yang dikobarkan oleh kemarahan akan terhubung dengan sifat-sifat setan. Ia mengingatkan bahwa keadaan manusia yang damai dan tenang berbeda dengan keadaan yang penuh gejolak seperti api.
Dalam Al-Qur’an, marah sering disebut sebagai nafs ‘amarah, sebagaimana tertuang dalam surat Yusuf ayat 53: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” Ini menunjukkan bahwa nafsu sering kali mendorong kepada perbuatan buruk kecuali mereka yang dalam lindungan Allah.
Hadis Nabi Muhammad (SAW) juga menekankan bahaya dari kemarahan. Ketika seseorang meminta nasihat, Nabi Muhammad (SAW) mengulang perintah “Janganlah engkau marah!” sebanyak tiga kali. Namun, tidak semua kemarahan tercela. Marah diperbolehkan jika diarahkan pada hal yang proporsional dan sesuai dengan konteks yang benar. Imam Syafi’i menjelaskan bahwa tidak marah dalam situasi tertentu juga menunjukkan kelemahan karakter seseorang.
Imam Al-Ghazali menambahkan bahwa marah yang tidak dibolehkan adalah marah berlebihan (ifrath). Marah menjadi berlebihan jika menguasai akal dan menghilangkan kemampuan untuk berpikir jernih. Jika hal ini terjadi, seseorang akan kehilangan kontrol dan menjadi seperti orang yang dipaksa oleh kemarahannya.
Dari penjelasan tersebut, kita dapat memahami bahwa marah adalah sifat alamiah manusia. Islam melarang kita untuk mengikuti kemarahan tanpa kendali. Namun, dalam menghadapi kemungkaran dan masalah akidah, menunjukkan kemarahan adalah diperbolehkan. Marah yang berlebihan tetap dilarang dalam Islam, karena Islam mengajarkan kita untuk menghindari segala sesuatu yang berlebihan.