Ungkapan “adab di atas ilmu” sering kali disalahartikan, sehingga banyak orang mengabaikan pentingnya ilmu. Pemahaman yang benar mengenai ungkapan ini sangatlah krusial. Hadlratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari menekankan bahwa adab merupakan hasil akhir dari rangkaian tauhid, iman, dan syariat. Ketiga elemen ini saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan dalam menciptakan adab yang baik. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki adab biasanya juga mampu menjalankan syariat, iman, dan tauhid dengan benar.
Dalam sebuah kutipan, Hadlratussyekh menyatakan:
وَقَالَ بَعْضُهُمْ : التَّوْحِيْدُ يُوْجِبُ الْإِيْمَانَ، فَمَنْ لَا إِيْمَانَ لَهُ فَلَا تَوْحِيْدَ لَهُ. وَالْإِيْمَانُ يُوْجِبُ الشَّرِيْعَةَ، فَمَنْ لَا شَرِيْعَةَ لَهُ فَلَا إِيْمَانَ لَهُ وَلَا تَوْحِيْدَ لَهُ. وَالشَّرِيْعَةُ تُوْجِبُ الْأَدَبَ، فَمَنْ لَا أَدَبَ لَهُ فَلَا شَرِيْعَةَ لَهُ وَلَا إِيْمَانَ لَهُ وَلَا تَوْحِيْدَ لَهُ
Artinya, “Dan sebagian ulama berkata: ‘Tauhid pasti melahirkan iman. Barang siapa yang tidak memiliki iman, maka dia tidak memiliki tauhid. Iman pasti melahirkan syariat. Maka barang siapa yang tidak memiliki syariat, maka dia tidak memiliki iman dan tauhid. Syariat pasti melahirkan adab. Barang siapa tidak memiliki adab, maka dia tidak memiliki syariat, iman, dan tauhid.'”
Akhir-akhir ini, ungkapan “Al-Adab Fauqal Ilmi” atau adab lebih utama daripada ilmu sering dibahas dan disalahpahami. Banyak orang cenderung meniru gaya berpakaian dan cara berbicara tokoh-tokoh alim yang mereka idolakan tanpa memahami proses mereka menjadi sosok yang berakhlak mulia.
Fenomena ini membuat mereka lebih suka menghadiri majelis shalawatan, haul, khataman Al-Quran, dan kegiatan lainnya meskipun jaraknya jauh dari rumah, sementara di dekat rumah ada majelis ilmu dari kiai atau ustadz. Beberapa di antara mereka bahkan mengabaikan keberadaan orang tua hanya demi mengikuti majelis-majelis tersebut.
Jika kesalahpahaman ini terus berlanjut, masyarakat akan semakin jauh dari ilmu. Padahal, keberlangsungan Islam sangat bergantung pada kekuatan ilmu. Segala bentuk ibadah tidak akan sah jika dilaksanakan tanpa ilmu. Imam Al-Zarnuji dalam kitab Ta’limul Muta’allim menegaskan:
… فَإِنَّ بَقَاءَ الْإِسْلَامِ بِالْعِلْمِ وَلَا يَصِحُّ الزُّهْدُ وَالتَّقْوَى مَعَ الْجَهْلِ
Artinya, “Sungguh kelestarian Islam itu terjadi dengan ilmu. Zuhud dan takwa tidak sah disertai kebodohan.”
Imam Al-Ghazali juga menekankan pentingnya pemahaman agama yang mendalam sebagai modal utama dalam menyembah Allah (SWT). Dalam kitab Ihya’, beliau mengatakan:
قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: مَا عُبِدَ اللهُ تَعَالَى بِشَيْءٍ أَفْضَلَ مِنْ فِقْهٍ فِى الدِّيْنِ … وَلِكُلِّ شَيْءٍ عِمَادٌ وَعِمَادُ هَذَا الدِّيْنِ الْفِقْهُ
Artinya, “Nabi Muhammad (SAW) bersabda: ‘Allah (SWT) tidak disembah dengan sesuatu yang lebih utama daripada pemahaman terhadap agama yang benar … Setiap sesuatu ada tiangnya dan tiang agama ini adalah pemahaman agama yang benar.'”
Seorang Muslim yang berilmu dapat mengetahui penyakit-penyakit hati yang sering merusak pahala ibadahnya. Dr. Lukman Hakim mengutip pendapat Al-Ghazali mengenai fiqih atau pemahaman dalam agama sebagai pengetahuan tentang jalan akhirat dan detil-detil kerusakan jiwa.
وَالْمُرَادُ بِالْفِقْهِ هُنَا عِلْمُ طَرِيْقِ الْآخِرَةِ وَمَعْرِفَةِ دَقَائِقِ آفَاتِ النَّفْسِ وَمُفْسِدَاتِ الْأَعْمَالِ
Artinya, “Dan yang dimaksud dengan fiqih di sini adalah ilmu untuk mengetahui jalan akhirat serta detil-detil bahaya jiwa dan perusak-perusak amal.”
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa beradab tanpa ilmu akan memperlemah Islam itu sendiri. Seorang Muslim tanpa ilmu akan mudah terjebak dalam sikap fanatisme berlebihan, yang pada gilirannya dapat merusak tatanan masyarakat. Wallahu a’lam bis shawab.