Isu kenaikan gaji guru menjadi salah satu berita yang hangat diperbincangkan, bahkan menjadi topik pembahasan dalam Debat Kandidat Capres dan Cawapres 2024. Tuntutan guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) untuk diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), aspirasi untuk menyetarakan gaji guru honorer dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS), serta kenaikan gaji guru di seluruh Indonesia semakin mengemuka.
Namun, peningkatan kompetensi dan kualitas guru juga seharusnya menjadi perhatian utama. Mengingat berbagai kenakalan dan tindak kekerasan anak didik masih terjadi, kompetensi serta kualitas guru yang ideal sangat berperan dalam pencegahan dini kenakalan dan tindak kriminal di kalangan siswa.
Dalam catatan ulama, kualitas guru menentukan kualitas siswa. Jika seorang guru tidak memiliki kompetensi dan kualitas yang memadai, maka pesan moral yang disampaikan tidak dapat mengubah sikap anak didik. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ibnu Jamaah Al-Kanani:
وإذا لم ينتفع العالم بعلمه فغيره أبعد عن الانتفاع
Artinya, “Jika orang berilmu tidak dapat mengambil manfaat dari ilmunya, apalagi orang lain, maka jauh lebih tidak dapat mengambil manfaatnya.” (Ibnu Jamaah Al-Kanani, Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim).
Peningkatan kompetensi dan kualitas guru seharusnya menjadi kesadaran pribadi sejalan dengan peningkatan gaji dan kesejahteraan yang diperoleh dari berbagai skema. Baik guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil maupun mereka yang berstatus Inpassing.
Merujuk Imam Malik, ilmu yang sejati bukanlah dari banyaknya materi yang disampaikan, melainkan cahaya pencerahan di hati:
لَيْسَ الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ إنَّمَا الْعِلْمُ نُوْرٌ يَضَعُهُ اللهُ فِي الْقَلْبِ
Artinya, “Ilmu sejati bukanlah dengan banyaknya riwayat, tetapi ilmu sejati adalah cahaya yang terpatri dalam hati.” (Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qari, Mirqatul Mafatih).
Dari sini terlihat bahwa dibutuhkan guru yang memiliki kompetensi dan kualitas ideal. Pendidik yang dapat memancarkan cahaya pencerahan kepada peserta didik dengan keikhlasan dan kejujuran, di mana keduanya merupakan faktor dominan dalam keberhasilan proses pembelajaran. Sebagaimana disampaikan oleh Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad:
كَلَامُ أهْلِ الإخْلاصِ وَالصِّدْقِ نُوْرٌ وَبَرَكَةٌ وَاِنْ كَانَ غَيْرَ فَصِيْحٍ
Artinya, “Perkataan orang ikhlas dan jujur adalah cahaya dan keberkahan, walaupun tidak fasih.” (Abdullah bin Alawi Al-Haddad, Al-Hikam Al-Haddadiyah).
Oleh karena itu, banyaknya jumlah guru yang sejahtera secara finansial bukanlah jawaban tunggal untuk permasalahan pendidikan. Ini juga bukan penyelesaian akhir dari persoalan peserta didik saat ini.
Dalam konteks fiqih, menerima gaji bagi seorang guru bukanlah tindakan yang melanggar aturan. Guru diperbolehkan mengambil gaji meskipun ada persyaratan dalam proses mengajar, sebagaimana penjelasan berikut:
وَذَهَبَ عَطَاء وَمَالِك وَالشَّافِعِيّ وَأخَرُوْنَ الى جَوَازِهَا إنْ شَارَطَهُ وَاسْتَأجَرَهُ إجَارَةً صَحِيْحَةً
Artinya, “Atha’, Malik, As-Syafi’i dan yang lain berpendapat boleh mengambil upah mengajar al-Qur’an, jika ia mensyaratkannya dan orang menyewa jasanya dengan akad sewa yang sah.”
Sementara itu, Az-Zuhri dan Abu Hanifah tetap membolehkannya meskipun tidak disyaratkan dalam akad.
Namun jika profesi mengajar ditransaksikan sebagai akad sewa tetapi guru tidak memiliki kualitas yang sesuai dengan kriteria pendidik sejati, maka hasil gajinya bisa dianggap tidak sah.
Dengan demikian, perlu ada keseimbangan antara kenaikan gaji guru dan peningkatan kualitas pribadi mereka untuk mencerdaskan generasi bangsa secara lahir dan batin.