Tasawuf merupakan ajaran dalam Islam yang berfokus pada pembersihan hati dan jiwa melalui proses riyadhah atau olah batin. Para sufi menawarkan berbagai pemahaman tentang tasawuf, bahkan Syeikh Imam Zainuddin Al-Malibariy mengungkapkan bahwa terdapat seribu pendapat ulama mengenai pengertian tasawuf. Salah satu definisi yang komprehensif dapat ditemukan dalam kitab Haqaiq ‘anit Tashawwuf karya Syaikh Abdul Qadir ‘Isa. Menurut Syaikh Zakariya Al-Anshari, tasawuf adalah disiplin ilmu tentang cara membersihkan hati, memurnikan akhlak, dan membangun kehidupan lahir dan batin untuk memperoleh kehidupan yang hakiki.
Dengan demikian, tasawuf berperan penting dalam menjaga keseimbangan aspek lahir dan batin manusia. Proses pembersihan jiwa dari sifat-sifat tercela seperti dengki, takabbur, riya’, dan ghadab, serta pengisian hati dengan sifat terpuji seperti qana’ah, zuhud, tawadhu’, dan wara’ adalah nilai-nilai spiritual yang ditawarkan oleh tasawuf. Para sufi, sebagai pelaku ilmu tasawuf, berusaha mendekatkan diri kepada Allah (SWT) dengan melakukan tazkiyatun nufus dan praktik-praktik yang disukai oleh-Nya.
Terdapat pertanyaan tentang apakah penyampaian pengalaman religius spiritual para sufi hanya diperuntukkan bagi ahlinya atau dapat disampaikan kepada masyarakat umum. Hal ini penting karena pemahaman yang disampaikan oleh para sufi kadang sulit dipahami oleh orang biasa atau dapat dipahami dengan cara subjektif yang melenceng dari kaidah tasawuf yang benar. Contohnya adalah ungkapan Syekh Siti Jenar tentang “manunggaling kawula gusti,” yang mencerminkan kesatuan manusia dengan Tuhan. Ajaran ini sejalan dengan konsep “Wahdatul Wujud” yang diajukan oleh Ibnul ‘Arabi, di mana alam semesta dianggap sebagai manifestasi dari Yang Satu (Allah).
Dalam kitab Al-Muntakhabat karya KH Achmad Asrori Al-Ishaqy, ada dua pandangan mengenai penyampaian ilmu tasawuf. Beberapa ulama sufi berpendapat bahwa ilmu tasawuf sebaiknya tidak dipublikasikan kepada semua kalangan, sementara yang lain berpendapat bahwa informasi tersebut perlu disampaikan kepada publik. Ulama seperti Syekh Sufyan Tsauri dan Syekh Abu Hasan An-Nuri berpendapat bahwa ilmu tasawuf harus disampaikan hanya kepada ahlinya. Mereka tidak membahas hakikat dan rahasia kecuali dalam kalangan tertentu dan di tempat yang sunyi, demi menjaga kerahasiaan ketuhanan.
Sebaliknya, Syekh Junaid Al-Baghdadi berpendapat bahwa ilmu tasawuf juga perlu disampaikan kepada masyarakat umum. Dalam sebuah riwayat, beliau menyatakan bahwa ia menyeru orang awam di hadapan Allah (SWT). Dari dua perspektif ini, penting untuk menekankan bahwa penyampaian ilmu tasawuf berkaitan dengan pengalaman batin para sufi dan kemakrifatan mereka kepada Allah (SWT).
Hikam Al-’Athaiyah menyebutkan bahwa ungkapan para sufi bisa muncul dari kerinduan yang mendalam atau bertujuan untuk membimbing murid. Klasifikasi pertama biasanya dialami oleh para salik, sedangkan yang kedua adalah ungkapan dari ulama ahli hakikat untuk membimbing muridnya. Bagi ulama ahli hakikat yang sudah kokoh hatinya, ungkapan tanpa tujuan membimbing dianggap membuka rahasia yang tidak diizinkan.
KH Achmad Asrori memberikan jalan tengah terhadap perbedaan pendapat ini dengan mengelompokkan konteks penyampaian ajaran tasawuf. Jika ajaran berupa nasihat dan peringatan, boleh disampaikan kepada masyarakat umum. Namun, jika berkaitan dengan penjelasan atau ketetapan tertentu, maka hanya diperuntukkan bagi kalangan khusus, seperti para pecinta dan pengikut. Jika penjelasan berkaitan dengan maqam atau pendakian, maka sebaiknya hanya untuk murid dan salik.
Kesimpulannya, perbedaan pendapat ulama sufi tentang penyampaian ajaran tasawuf bisa disesuaikan dengan konteks pesan yang ingin disampaikan. Di era modern ini, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, penting untuk berhati-hati dalam berbagi pengalaman spiritual agar tidak menimbulkan pemahaman yang keliru di kalangan masyarakat.