Debat calon presiden dan calon wakil presiden menjadi tontonan menarik menjelang pemilu 2024. Dalam acara ini, kita dapat menyaksikan para capres dan cawapres menyampaikan gagasan serta program yang akan dijalankan jika terpilih nanti. Teknik berdebat juga terlihat pada masing-masing paslon, dengan sesekali terjadi adu argumen yang cukup panas. Di sisi lain, penonton debat memiliki persepsi dan penilaian yang berbeda-beda terhadap penampilan masing-masing paslon. Etika menjadi salah satu sorotan penting bagi penonton. Apakah masing-masing paslon sudah berdebat sesuai etika? Persoalannya, etika terkadang memiliki standar yang samar dan tidak paten. Subjektivitas dan latar belakang penonton banyak mendominasi justifikasi terhadap penampilan debat.
Dalam pandangan Islam, debat merupakan aktivitas adu argumen yang netral. Jika ditujukan untuk mencari kebenaran dan dilakukan dengan etis, maka debat akan menjadi hal yang positif. Sebaliknya, berdebat tanpa etika yang baik akan mengarah pada penilaian negatif. Berdebat juga memiliki teknik dan seni tersendiri agar pemilik argumen dapat menyampaikan ide dengan baik dan meyakinkan lawan.
Al-Khatib al-Baghdadi dalam karyanya, Al-Faqih wal Mutafaqqih, menjelaskan sepuluh etika dan seni berdebat dalam kacamata Islam:
Pertama, mengedepankan takwa kepada Allah dalam berdebat. Al-Khatib al-Baghdadi menekankan pentingnya rasa takwa saat berdebat, yaitu dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya agar tidak melanggar ketentuan demi memenangkan perdebatan.
Kedua, niat debat harus untuk mencari fakta dan kebenaran, bukan sekadar untuk mengalahkan lawan. Al-Khatib al-Baghdadi menyebutkan bahwa tujuan debat seharusnya adalah mengklarifikasi fakta dan menegakkan kebenaran.
Ketiga, mengatur ritme kapan harus berbicara dan kapan harus diam serta bersikap tenang. Seseorang yang berdebat perlu menunjukkan wibawa dengan tidak banyak bicara, hanya berbicara ketika diperlukan, serta tidak membalas perkataan buruk dari lawan.
Keempat, menyampaikan argumen dengan cermat tanpa keras kepala. Kebenaran lebih ampuh disampaikan dengan cara yang tepat, tanpa sikap keras kepala atau kecurangan.
Kelima, menggunakan bahasa sederhana dan jelas, serta menyampaikan argumen dengan fasih. Menjaga agar tidak banyak menggunakan kata-kata yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman atau kebosanan.
Keenam, tidak mengeraskan suara saat berbicara. Suara sebaiknya berada di tengah-tengah antara terlalu keras dan terlalu pelan agar dapat didengar oleh semua hadirin.
Ketujuh, berlatih sebelum berdebat dengan banyak membaca materi dan berlatih menjawab pertanyaan. Ini akan membantu seseorang tampil lebih percaya diri saat menghadapi audiens.
Kedelapan, tidak boleh menyombongkan diri dengan pendapat yang telah disampaikan. Sikap ini dapat memicu fanatisme dan menyimpangkan tujuan debat itu sendiri.
Kesembilan, jangan terburu-buru menghakimi argumen lawan sebelum ia selesai berbicara. Ada kemungkinan maksud sebenarnya baru terungkap di akhir penjelasan.
Kesepuluh, hindari debat yang tidak dikuasai. Tanpa penguasaan tema diskusi, seseorang akan banyak melakukan kesalahan dalam berbicara.
Kesepuluh etika dan seni berdebat ini dapat menjadi referensi bagi siapa saja yang ingin menggelar debat agar aktivitas tersebut menjadi substantif dan memenuhi nilai-nilai etis.