Imam Abu Hamid al-Ghazali lahir di Thus, Khurasan, Iran pada tahun 450 H/1058 M. Ia dikenal dengan gelar Hujjatul Islam karena upayanya membela agama Islam dari berbagai aliran yang menyimpang. Ayahnya, Muhammad bin Ahmad, seorang tukang tenun yang hidup dalam keadaan miskin, memiliki seorang putra bernama Hamid yang meninggal saat masih kecil.
Imam al-Ghazali adalah sosok yang mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat, teologi, tasawuf, dan fikih. Ia juga diakui sebagai pakar dalam bidang tasawuf. Karya terpentingnya, Kitab Ihya Ulumiddin, menjadi rujukan banyak kalangan, terutama santri dan pondok pesantren di Nusantara.
Di dalam kitab Ihya Ulumiddin, Imam al-Ghazali membahas konsep muhasabah, yaitu kegiatan merenungkan dan menilai perbuatan yang telah dilakukan. Tujuan dari muhasabah adalah untuk mengetahui perbuatan baik dan buruk yang dilakukan serta memahami niat dan tujuan dari tindakan tersebut.
Lebih dari itu, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa muhasabah bertujuan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan diri. Dengan menyadari kekurangan diri, seseorang akan termotivasi untuk memperbaiki diri melalui peningkatan amal kebaikan dan memperbaiki hubungan dengan Tuhan. Dengan demikian, kita dapat menghindari perbuatan yang tidak diridhai oleh-Nya.
Dalam penjelasannya, Imam al-Ghazali menyatakan:
“Ketahuilah bahwa hamba, sebagaimana seharusnya memiliki waktu di awal hari untuk berjanji kepada dirinya sendiri untuk berpegang teguh pada kebenaran, maka seharusnya ia juga memiliki waktu di akhir hari untuk menuntut jiwanya dan memperhitungkannya atas semua gerak-geriknya dan diamnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh para pedagang di dunia dengan para mitra mereka di akhir setiap tahun, bulan, atau hari, karena kegigihan mereka terhadap dunia, dan karena takut jika mereka kehilangan sesuatu dari dunia yang jika mereka kehilangannya, itu akan lebih baik bagi mereka jika hilang.”
Imam al-Ghazali juga mempertanyakan:
“Maka bagaimana mungkin orang yang berakal tidak memperhitungkan dirinya sendiri dalam hal yang berkaitan dengan bahaya kesengsaraan dan kebahagiaan selamanya? Apa ini kemalasan kecuali karena kelalaian, kehinaan, dan sedikit taufik? Kita berlindung kepada Allah dari hal itu.”
Berdasarkan penjelasan Imam al-Ghazali, introspeksi diri penting dilakukan oleh setiap orang. Ada tiga manfaat utama dari muhasabah bagi seorang Muslim. Pertama, muhasabah membantu memperbaiki diri dan menjauhi perbuatan dosa. Proses ini memungkinkan kita untuk merenungkan dan mengevaluasi tindakan, sikap, serta kebiasaan kita.
Muhasabah dapat dilakukan setiap hari, di awal dan akhir hari. Di awal hari, kita bisa berjanji kepada diri sendiri untuk berpegang teguh pada kebenaran dan menetapkan tujuan yang ingin dicapai. Di akhir hari, kita dapat menuntut jiwa kita dan memperhitungkannya atas semua gerakan dan ketidakaktifan kita. Ini sejalan dengan hadis Nabi Muhammad (SAW) yang mendorong setiap Muslim untuk introspeksi dan memperbaiki diri. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim disebutkan bahwa orang yang beruntung adalah mereka yang hari ini lebih baik dari kemarin.
Kedua, muhasabah menumbuhkan rasa tanggung jawab. Kita menjadi sadar akan kewajiban di hadapan Allah, sesama manusia, dan diri sendiri yang terikat pada aturan agama. Melalui muhasabah, kita memahami bahwa hidup ini bermakna dan akan kembali kepada Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Q.S al-Hasyr [59] ayat 18:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Ayat ini mengajarkan kita untuk selalu berorientasi pada masa depan. Apa yang kita lakukan hari ini akan berdampak pada masa depan kita. Oleh karena itu, kita harus selalu berusaha untuk melakukan hal-hal baik dan menghindari hal-hal buruk.
Ketiga, muhasabah menjaga diri dari perbuatan maksiat. Orang-orang yang selalu introspeksi akan menjaga diri dari godaan dosa yang dapat membahayakan diri di hari kiamat. Lebih dari itu, mereka yang selalu bermuhasabah siap menjawab pertanyaan Allah (SWT) dan akan mendapatkan akhirat yang baik. Sebaliknya, mereka yang tidak introspeksi diri akan menyesal dan akan berdiri lama di padang mahsyar.
Dengan demikian, tujuan muhasabah adalah untuk memperbaiki diri serta meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan. Muhasabah dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran diri akan kesalahan dan kekurangan sehingga dapat memotivasi kita untuk memperbaiki diri.