Di tengah interaksi sosial, seringkali seseorang diundang untuk berbagi cerita atau curhat tentang hal-hal pribadi yang mungkin tidak nyaman didengar oleh orang lain, seperti masalah pernikahan. Tradisi ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu, dan contoh yang baik dapat kita lihat dari kisah Sayyidina Abu Bakar.
Setelah suami Hafsah, Khunais bin Hudzafah As-Suhami, wafat pada tahun 3 H, Umar bin Khattab berkeinginan untuk menjodohkan putrinya dengan Utsman bin Affan, yang juga telah kehilangan istrinya, Ruqayyah binti Rasulullah (SAW), setahun sebelumnya. Umar segera mengunjungi Utsman dan menawarkan pernikahan tersebut. “Hai Utsman, aku ingin menikahkan dirimu dengan putriku, Hafsah,” kata Umar.
Namun, Utsman menolak tawaran tersebut dengan penuh kehati-hatian. “Aku tak punya hajat untuk menikahinya,” jawabnya. Umar yang tidak putus asa kemudian mendatangi Abu Bakar dengan maksud yang sama. “Hai Abu Bakar, aku ingin menikahkan dirimu dengan putriku, Hafsah,” ungkap Umar.
Sayangnya, Abu Bakar memilih untuk diam tanpa memberikan jawaban. Ia tidak menolak atau menerima tawaran itu, yang membuat Umar merasa sangat kecewa. Beberapa hari kemudian, Rasulullah (SAW) menikahi Hafsah. Setelah pernikahan itu, Abu Bakar mendatangi Umar untuk menjelaskan sikap diamnya saat ditawari. “Wahai Umar, aku kira hatimu memendam sesuatu terhadapku setelah aku tidak menjawab ucapanmu,” kata Abu Bakar.
Umar menjelaskan kekecewaannya, “Ya, hatiku kecewa berat. Kalau Utsman telah menjawabnya, aku tidak akan begitu kecewa kepadanya.” Abu Bakar kemudian memberikan klarifikasi, “Aku tidak menjawab tawaranmu karena Rasulullah (SAW) telah berbicara kepadaku secara diam-diam dan mengabarkan bahwa beliau ingin menikahi Hafsah. Jika aku menjawab dengan keengganan menikahi Hafsah, aku khawatir engkau akan menanyakan sebabnya. Bila aku memberitahumu tentang rahasia Rasulullah (SAW), itu akan menjadi pengkhianatan.”
Kisah ini menunjukkan teladan luar biasa dari Abu Bakar dalam menjaga rahasia Rasulullah (SAW) terkait ketertarikan beliau kepada Hafsah. Anjuran untuk menjaga rahasia orang lain telah ditegaskan dalam Al-Quran dan hadits. Salah satu ayat dalam Al-Quran menyebutkan:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya: “Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ululamri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya secara resmi dari mereka.” (QS An-Nisa’: 83)
Meskipun ayat ini membahas perilaku sebagian kaum Muslim yang suka menyebarkan berita, pengajar seperti Syekh Ismail Haqqi menyatakan bahwa ayat ini juga mengandung larangan untuk menyebarkan rahasia.
Dalam sebuah hadits dari Jabir bin Abdillah (RA), Rasulullah (SAW) bersabda: “Ketika seseorang berbicara terhadap orang lain dengan suatu pembicaraan, kemudian ia berpaling, maka pembicaraan itu adalah amanah.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Penjelasan dari Al-Hafizh Al-Munawi menunjukkan bahwa pembicaraan tersebut menjadi amanah yang harus dijaga oleh pihak yang diajak bicara. Menyebarkannya kepada orang lain berarti melanggar kepercayaan yang telah diberikan.
Hadits ini mencerminkan pentingnya menjaga rahasia dan etika dalam bergaul serta menjaga hubungan sosial yang harmonis. Dengan demikian, menjaga rahasia bukan hanya merupakan kewajiban moral tetapi juga bagian dari akhlak yang baik dalam relasi sosial.