Sejarah mencatat bahwa konflik dan peperangan telah menjadi bagian dari perjalanan umat manusia sejak zaman dahulu. Dalam Al-Qur’an, peperangan diakui sebagai hal yang sulit dihindari dan dibolehkan jika bertujuan mempertahankan diri dari serangan musuh. Meskipun peperangan diperbolehkan dalam Islam dengan syarat tertentu, pada hakikatnya, umat Islam dididik untuk tidak berperang dan memiliki rasa benci terhadap peperangan. Hal ini tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 216 yang menyatakan: “Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci.”
Ketika peperangan terjadi, Islam sebagai agama yang mengedepankan keselamatan tidak membiarkan konflik berlangsung tanpa aturan dan etika. Terdapat perhatian khusus terhadap perlindungan warga sipil dan non-kombatan, yang harus dibedakan agar terhindar dari serangan. Prinsip pembedaan antara kombatan dan warga sipil termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 190: وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ.
Artinya: “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu dan jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Dalam Tafsir Al-Qurthûbî, Ibnu ʻAbbâs, ʻUmar bin ʻAbdul ʻAzîz, dan Mujâhid menafsirkan ayat ini sebagai perintah untuk memerangi hanya mereka yang memerangi kita, tanpa melampaui batas dengan membunuh perempuan, anak-anak, atau tokoh agama.
Oleh karena itu, pertempuran seharusnya hanya terjadi antara kombatan (tentara) yang bertugas untuk berperang, sedangkan warga sipil dan non-kombatan serta objek-objek sipil harus dilindungi dari dampak destruktif perang. Prinsip pembedaan ini telah diajarkan oleh Nabi Muhammad (SAW) yang melarang pembunuhan warga sipil yang tidak terlibat dalam peperangan. Banyak hadits yang menjelaskan bahwa wanita, anak-anak, pelayan bayaran, orang tua, agamawan, dan tawanan perang harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan.
Prinsip-prinsip ini sudah ada sebelum munculnya hukum perang positif yang dikenal sebagai Hukum Humaniter Internasional (HHI), yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1864 dan disempurnakan pada Konvensi Jenewa 1949 terkait perlindungan korban perang. Dalam HHI, prinsip pembedaan menekankan pentingnya membedakan antara peserta tempur (kombatan) dan warga sipil. Ini semakin menegaskan bahwa Islam menjamin keselamatan dan perlindungan bagi warga sipil serta fasilitas sipil dari sasaran perang.
Terdapat beberapa prinsip dasar dalam Islam yang mendasari jaminan perlindungan ini. Pertama, tujuan utama ajaran Islam (maqâshid syarîʻah) adalah melindungi hak-hak manusia yang paling mendasar, seperti hak hidup, hak beragama, hak memelihara akal, keluarga, dan kepemilikan. Islam mengecam segala bentuk kekerasan dan kezaliman terhadap individu atau kelompok. Kezaliman terhadap satu individu dianggap sama dengan kezaliman terhadap seluruh umat manusia. Kehidupan dan nyawa manusia dipandang sebagai sesuatu yang suci dan dijunjung tinggi oleh Islam.
Kedua, prinsip pembedaan antara warga sipil dan pejuang (militer) sangat ditekankan. Meskipun peperangan diizinkan untuk tujuan yang sah, tetap ada ancaman untuk tidak melampaui batas-batas yang diperbolehkan, termasuk membunuh warga sipil yang tidak bersalah atau merusak fasilitas mereka seperti rumah sakit dan sekolah.
Ketiga, prinsip fitrah dasar manusia menyatakan bahwa setiap individu berada dalam keadaan tidak bersalah secara moral. Dalam pandangan Islam, tidak ada konsep “dosa bawaan” atau “dosa turunan.” Setiap orang bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri, sehingga membunuh warga sipil yang tidak berdosa adalah tindakan yang tidak dibenarkan.
Akhlak dan etika merupakan elemen penting dalam Islam. Setiap aktivitas dalam Islam harus sesuai dengan akhlak, termasuk ketika berperang. Penyempurnaan akhlak merupakan misi utama Nabi Muhammad (SAW), yang dijadikan contoh terbaik bagi umatnya. Oleh karena itu, setiap Muslim diharapkan meneladani Nabi dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam mengikuti etika dan aturan dalam pelaksanaan perang.
Kegagalan pihak lain untuk menegakkan keadilan atau tidak menghormati kesepakatan internasional tidak dapat dijadikan alasan bagi umat Islam untuk melakukan hal serupa. Dalam Islam, tidak ada istilah “menghalalkan segala cara.” Tujuan baik tidak boleh dicapai dengan cara buruk. “Allah itu baik dan tidak menerima selain yang baik.”