Persoalan terkait kepemimpinan pasca Nabi Muhammad (SAW) selalu relevan, mengingat kompleksitas yang dihadapi umat Islam dalam aspek ideologis, otoritas politik, serta dampaknya terhadap sejarah peradaban Islam hingga saat ini. Salah satu pernyataan Nabi Muhammad (SAW) mengenai kepemimpinan setelah wafatnya beliau adalah berdirinya kekhalifahan dengan metode kenabian. Hal ini diriwayatkan oleh Abu Dawud:
عَنْ سَفِينَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَافَةُ النُّبُوَّةِ ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللَّهُ الْمُلْكَ أَوْ مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ
Artinya: “Dari Safinah, ia berkata, ‘Rasulullah (SAW) bersabda, ‘Khilafah kenabian itu selama tiga puluh tahun, kemudian Allah memberikan kekuasaan-Nya kepada siapa yang Ia kehendaki’.” (HR Abu Dawud).
Pernyataan ini terbukti dalam catatan sejarah. Khalifah pertama, Abu Bakar, memimpin selama 2 tahun 3 bulan 10 hari; diikuti oleh Umar yang menjabat selama 10 tahun 6 bulan 8 hari; Utsman selama 11 tahun 11 bulan 9 hari; dan Ali selama 4 tahun 9 bulan 7 hari. Setelahnya, Hasan memimpin selama 6 bulan. Jika dihitung dari masa Abu Bakar hingga Ali dan Hasan, durasi kepemimpinan mencapai 30 tahun, sesuai dengan riwayat tersebut.
Kepemimpinan Hasan mengalami tantangan besar karena pada akhir masa pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi berbagai faksi, di antaranya faksi Mu’awiyah dan Ali. Setelah wafatnya Ali, Hasan dibaiat oleh warga Kufah. Dalam situasi sulit ini, Mu’awiyah meminta kekhilafahan darinya. Dengan syarat tertentu, Hasan akhirnya menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah, berharap kekuasaan akan dikembalikan kepadanya setelah ia lengser.
Tindakan Hasan menuai kritik dari sebagian umat Islam karena dinilai menghinakan mereka dengan mudah menyerahkan kekuasaan. Namun, keputusan itu didasari oleh upaya mendamaikan kedua faksi yang bertikai, yang juga pernah disebut Nabi Muhammad (SAW) ketika bersabda bahwa Hasan akan mendamaikan dua golongan kaum Muslimin.
Dari keempat khalifah mulai Abu Bakar hingga Ali, hanya Ali yang melanjutkan kepemimpinan melalui anaknya, Hasan. Ketiga khalifah lainnya tidak melibatkan anak-anak mereka dalam proses penggantian kepemimpinan. Meski Abu Bakar memiliki beberapa anak laki-laki seperti Abdurrahman, Abdullah, dan Muhammad, ia memilih untuk tidak menunjuk mereka sebagai penggantinya. Ia lebih percaya pada Umar sebagai calon khalifah selanjutnya.
Abu Bakar wafat pada tahun ke-13 Hijriah, dua tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad (SAW). Pada masa itu, suasana spiritual masih sangat kental. Ia tidak mewariskan kekuasaan kepada keluarganya, melainkan memilih Umar setelah berkonsultasi dengan sahabat-sahabatnya. Dalam musyawarah tersebut, sahabat-sahabat senior sepakat bahwa Umar adalah pilihan yang tepat.
Penunjukan Umar sebagai khalifah dituliskan dalam wasiat yang dibuat oleh Utsman. Menjelang wafatnya, Abu Bakar meminta pendapat para sahabat mengenai Umar dan mendapat respon positif dari mereka. Ali yang hadir saat itu menyatakan dukungannya terhadap Umar sebagai pengganti.
Keputusan Abu Bakar untuk tidak mempersiapkan anaknya sebagai penerus kepemimpinan menunjukkan kebijaksanaan dan kesadaran akan pentingnya kompetensi dalam memimpin umat Islam. Kompetensi Umar dalam hal ketakwaan dan kemampuan memimpin menjadi pertimbangan utama dalam penunjukannya sebagai khalifah. Ini mencerminkan proses musyawarah dan pertimbangan yang matang dalam memilih pemimpin umat Islam pada masa itu.