Serat Cabolek adalah karya yang ditulis oleh Raden Ngabehi Yasadipura I, seorang pujangga keraton Surakarta pada abad ke-18. Karya ini menggambarkan ketegangan dalam kehidupan keagamaan masyarakat Jawa yang muncul akibat kontak dengan ajaran agama Islam. Dengan menggunakan bentuk macapat yang terdiri dari 11 pupuh, Serat Cabolek menyuguhkan cerita dengan gaya bahasa Jawa Baru yang indah dan efektif. Raden Ngabehi Yasadipura I berhasil mengekspresikan kandungan isi ceritanya dengan hidup, menggunakan kata-kata yang meskipun klise, serta memadukan narasi dan dialog dengan cermat. Pilihan kata kawi yang tepat semakin memperkuat daya tarik cerita ini.
Terdapat berbagai versi manuskrip Serat Cabolek, namun umumnya mengisahkan tentang Haji Ahmad Mutamakin, Dewa Ruci, dan Malang Sumirang. Salah satu versi ditafsirkan lebih luas oleh Kuntowijoyo, yang menjelaskan hubungan antara perlawanan kaum agama terhadap penguasa. Setting utama dalam Serat Cabolek adalah perdebatan seru antara Ketib Anom dari Kudus dengan Haji Mutamakin, yang dihadapkan pada para ulama dan penguasa Keraton Kartasura.
Ketib Anom adalah salah satu dari 11 ulama yang diminta pertimbangannya untuk menyelidiki ajaran Ahmad Mutamakin tentang ilmu hakikat yang diperolehnya dari Syaikh Zain Al-Yamani. Namun, Demang Urawan menuduh Ketib Anom sebagai penyebab keraguan di kalangan para ulama dengan melaporkan sesuatu yang belum pasti kepada Patih Danureja. Menanggapi tuduhan tersebut, Ketib Anom menegaskan bahwa niatnya adalah melindungi dan membela raja, serta kewajiban seorang ulama untuk menjaga agar raja tidak melanggar Sunah Nabi. Ia berpendapat bahwa jika raja berbuat demikian, cahaya kerajaan akan redup, dan rakyatlah yang akan menderita akibat kesalahan raja. Pendapat Ketib Anom Kudus ini membuat banyak orang yang mendengarnya terpesona.
Demang Urawan, sebagai utusan raja Kartasura, menggambarkan fisik Ketib Anom Kudus mirip Aria Seta, putra Raja Wirata, dan kegagahannya seperti Pragalba, seorang raksasa perkasa. Ketib Anom tidak berniat menyeret Ahmad Mutamakin ke dalam hukuman mati; ia malah menyayangkan jika Ki Mutamakin dihukum dan bersyukur atas pembebasannya, karena menurutnya seorang raja seharusnya menyembuhkan yang sakit dan mengobati mereka.
Ilmu hakikat Ahmad Mutamakin yang dipelajari dari Syaikh Zain Al-Yamani memiliki kemiripan dengan konsep Manunggaling Kawula Gusti dalam cerita Dewa Ruci. Ketib Anom mampu menjelaskan bahwa kesempurnaan hidup dapat diraih jika manusia dapat mengalahkan hawa nafsunya. Dalam perspektif budaya Jawa, nafsu digambarkan memiliki empat warna: hitam, merah, kuning, dan putih. Warna hitam melambangkan kemarahan dan iri hati, merah menunjukkan keinginan jahat, kuning menghalangi niat baik, sedangkan putih melambangkan kesucian dan pendorong spiritual menuju kebahagiaan.
Ketib Anom menambahkan bahwa jika sifat-sifat duniawi tersebut lenyap, maka hanya akan ada satu wujud, bukan laki-laki maupun perempuan. Muncullah Sang Pramana yang hidup dalam badan; Dzat yang bebas dari rasa sedih atau gembira, tidak makan atau tidur, serta tidak merasakan lapar atau derita. Jika Pramana meninggalkan badan, maka badan menjadi lumpuh. Pramana menerima hidup dari Suksma, yaitu hakikat Jiwa Ilahiah, dan menguasai badan. Jika badan mati, Pramana tidak berdaya; namun Suksma terus ada membentuk kehidupan sejati.
Ketib Anom mengingatkan bahwa untuk mempelajari ilmu yang rumit, seseorang tidak boleh menyangkal Sunah Nabi atau melawan raja dan merusak negara. Raja adalah wakil Nabi, dan Nabi adalah wakil Tuhan. Dewa Ruci merupakan wakil Dewa Guru di dunia yang memberi tuntunan kepada manusia. Dalam konteks ini, Dewa Ruci juga merupakan Sang Hyang Wenang, dalang tertinggi, sementara Pramana adalah Sang Hyang Tunggal yang mewujudkan persatuan antara Abdi dan Tuhan.