Al-Qur’an mengajarkan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri. Dalam banyak ayat, Al-Qur’an mendorong kita untuk beramal tanpa bergantung pada amal saleh orang lain, termasuk orang tua. Kita diingatkan bahwa hasil dari amal saleh yang kita peroleh adalah buah dari usaha pribadi, bukan dari amal orang lain.
Salah satu ayat yang menegaskan hal ini adalah:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Artinya, “Seseorang tidak akan mendapatkan kecuali apa yang dia usahakan,” (Surat An-Najm ayat 39).
Imam Al-Ghazali mengingatkan agar kita tidak terlalu bergantung pada kesalehan orang tua. Ada sebagian orang yang terpedaya berpikir bahwa kesalehan orang tua mereka cukup untuk menjamin keselamatan mereka. Pandangan semacam ini sangat keliru dan berbahaya.
Imam Al-Ghazali memberikan ilustrasi mengenai orang yang mengandalkan amal saleh orang tuanya, layaknya seseorang yang merasa kenyang dan tidak haus berkat makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh orang tuanya, sementara dia sendiri tidak berusaha makan atau minum. Tentu saja, ini tidak mungkin terjadi.
فإن من طنّ أنه ينجو بتقوى أبيه كمن ظن أنه يشبع بأكل أبيه أو يروي بشرب أبيه
Artinya, “Sungguh orang yang mengira akan selamat karena ketakwaan ayahnya sama seperti orang yang kenyang karena ayahnya yang makan atau hilang dahaga karena ayahnya yang minum,” (Imam Al-Ghazali, Al-Kasyfu wat Tabyin fi Ghururin Khalqi Ajma’in, [Semarang, Thaha Putra: tanpa tahun], halaman 19).
Imam Al-Ghazali menekankan bahwa ketakwaan dan kesalehan adalah kewajiban masing-masing individu. Kesalehan seseorang tidak dapat diwakilkan oleh siapapun, termasuk oleh orang tua. Oleh karena itu, seseorang tidak seharusnya merasa cukup hanya dengan kesalehan orang tua.
والتقوى فرض عين لا يجزى فيها والد عن ولده
Artinya, “Takwa adalah fardhu ain di mana ibadah wajib seorang ayah tidak dapat menggantikan kewajiban anaknya,” (Imam Al-Ghazali, tanpa tahun: 19).
Di sini, Imam Al-Ghazali ingin menekankan pentingnya lingkungan keluarga dalam membentuk karakter kesalehan kita. Meskipun nasab memiliki pengaruh, terlalu bergantung pada nasab dan kesalehan orang tua justru dapat menyesatkan dan membuat seseorang merasa aman dari tuntutan kewajiban untuk bertakwa dan beramal saleh.
Imam Al-Ghazali memasukkan mereka yang bergantung pada nasab dan kesalehan orang tua ke dalam kelompok yang terpedaya oleh ilusi. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa ketakwaan dan kesalehan adalah fardhu ain yang tidak dapat diwakilkan oleh keluarga maupun siapapun. Wallahu a’lam.