Dalam kitab Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, yang lebih dikenal dengan Tafsîr Al-Qurthubî, terdapat riwayat menarik tentang Sayyidina Husein bin Ali (ra) dan sekelompok orang miskin yang mengundangnya untuk makan. Riwayat tersebut menjelaskan bahwa ketika Sayyidina Husein melintasi orang-orang miskin yang sedang makan, mereka memanggilnya untuk bergabung. Tanpa ragu, ia turun dari kendaraannya dan duduk bersama mereka, mengingatkan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.
Setelah selesai makan, Sayyidina Husein meminta mereka untuk memenuhi undangannya ke rumahnya. Ia menjamu mereka dengan baik, menyediakan makanan, minuman, dan hadiah. Tindakannya ini merupakan contoh nyata dari tafsir Al-Qur’an bil fi’li, yaitu penafsiran yang diwujudkan dalam tindakan nyata.
Sering kali, manusia tidak menyadari bahwa mereka sedang bersikap sombong. Ketika mereka sadar, banyak yang mengabaikan kesadaran itu. Motif kesombongan pun beragam, bisa karena ingin dipuji, merasa lebih baik dari orang lain, atau bahkan tanpa motif tertentu. Untuk mengatasi kesombongan ini, manusia memerlukan pengingat, dan pengingat tersebut adalah Al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.
Lalu, bagaimana ciri orang sombong? Dalam riwayat dari Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah (SAW) bersabda bahwa kesombongan adalah menolak kebenaran dan memandang rendah kepada manusia. Salah satu cara untuk menolak kebenaran adalah dengan menunjukkan kesombongan untuk menutupi kelemahan. Sedangkan memandang rendah kepada manusia bisa berarti menganggap orang lain tidak layak menerima penghormatan atau merendahkan mereka.
Menurut Ibnu Rajab, memperlakukan seseorang dengan kejujuran dan rasa hormat adalah hak setiap Muslim, dan haram untuk merendahkan mereka. Dalam kisah ini, Sayyidina Husein menunjukkan kerendahan hati yang luar biasa. Ia tidak segan-segan untuk turun dari kendaraannya dan menerima undangan makan dari orang-orang tak mampu. Meskipun hidangan yang disajikan sederhana, ia langsung menyambut undangan tersebut.
Sebelum makan, ia mengingatkan semua orang dengan menyitir surat An-Nahl ayat 23: “Innahu lâ yuhibbul mustakbirîn” (sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong). Tindakan ini bukan untuk pamer amal, tetapi sebagai pengingat bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini yang berhak bersikap sombong.
Setelah menyantap hidangan, Sayyidina Husein mengundang mereka ke rumahnya. Ia menjamu mereka dengan penuh hormat dan memberikan makanan serta minuman. Tindakan ini menunjukkan bahwa ia berusaha menghindari sikap sombong dan menyadari bahwa kesombongan bisa menimpa siapa saja. Dengan menjamu mereka, ia menunjukkan kesadaran Qur’ani serta kasih sayang terhadap sesama.
Kisah ini dapat ditemukan dalam berbagai kitab tafsir dengan variasi redaksi dan detail. Imam Al-Qurthubi menuliskan kisah ini sebagai penafsiran dari surat An-Nahl ayat 23, menekankan bahwa perilaku Sayyidina Husein menjadi salah satu sumber penafsiran untuk menghindari sifat sombong.
Bagi kita yang sering kali tidak sadar ketika bersikap sombong, keteladanan perilaku seperti ini sangatlah penting. Melalui kisah ini, diharapkan kita semakin sadar akan kesombongan diri dan berusaha menjauhinya. Kesombongan adalah dosa besar yang dapat memberi dampak negatif pada diri kita. Para ulama menyatakan bahwa setiap dosa bisa ditutup-tutupi atau disembunyikan kecuali kesombongan, karena ia adalah kefasikan yang tampak dan menjadi akar dari berbagai maksiat.
Oleh karena itu, kisah Sayyidina Husein harus dijadikan teladan. Kita perlu menyerap hikmahnya dan mengamalkan makna yang terkandung di dalamnya. Memang tidak mudah, tetapi tak ada salahnya untuk mulai mencoba menghindari sikap sombong demi menggapai kebajikan sejati.