- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Tasawuf Amali dan Tasawuf Falsafi dalam Konteks Spiritual

Google Search Widget

Tasawuf amali berlandaskan pada ilmu yang diyakini harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Di dalamnya terdapat kaidah ilmu amaliah dan amal ilmiah. Sebutan lain untuk tasawuf amali mencakup tasawuf Qur’ani, tasawuf Sunni, tasawuf akhlaqi, dan tasawuf Salafi.

Di sisi lain, tasawuf falsafi menggabungkan dua disiplin ilmu: tasawuf dan filsafat. Tasawuf lebih menekankan pada unsur dzauq, yaitu emosi atau rasa, sementara filsafat menekankan pada unsur ‘aql, yaitu rasio atau intelek. Dalam praktiknya, tasawuf berfokus pada olah rasa, sedangkan filsafat berfokus pada olah rasio. Beberapa tokoh yang mendukung tasawuf falsafi antara lain Ibnu Sab’in, as-Sahrawardi, Ibnu ‘Arabi, al-‘Afif, al-Hallaj, dan lainnya.

Filsafat itu sendiri didasarkan pada empat pilar: (1) pemikiran yang mendalam hingga akar; (2) substansi atau hakikat sesuatu; (3) pemikiran yang logis atau rasional; (4) pemikiran yang sistematis dan metodologis. Keempat pilar ini dipadukan dengan kecintaan terhadap kebenaran sebagai hasil pemikiran, kesetiaan, dan komitmen terhadap kebenaran. Singkatnya, tasawuf falsafi adalah perpaduan antara kepekaan emosi dan kejernihan ruhani di satu sisi, serta ketajaman pemikiran filosofis di sisi lain dalam menjelaskan tema-tema tasawuf seperti jiwa, Tuhan, dan hubungan manusia dengan Allah.

Dalam tasawuf falsafi, terdapat beberapa tema penting yang menjadi fokus pembahasan, yaitu ittihad, hulul, dan wahdatul wujud.

Ittihad berarti integrasi atau persatuan. Dalam istilah tasawuf, ittihad merujuk pada pengalaman puncak spiritual seorang sufi ketika dekat dengan Allah, mencintai dan dicintai-Nya, serta merasakan kesatuan dengan-Nya. Contoh dari pengalaman ittihad ini dapat dilihat pada sosok Abu Yazid al-Busthami. Pengalaman ittihad yang dialaminya dimulai dengan dua pengalaman sebelumnya: fana dan baqa. Secara bahasa, fana berarti ‘hancur’ atau ‘hilang’, sedangkan baqa berarti ‘tetap’ atau ‘kekal’. Fana menggambarkan keadaan ketika kesadaran tentang diri dan lingkungan lenyap sementara waktu, sedangkan baqa adalah kondisi saat sufi merasa tetap bersama Allah.

Selama mengalami fana dan baqa, Abu Yazid mendapatkan sejumlah pengalaman penting. Pertama adalah mukasyafah, yaitu penghilangan hijab yang menghalangi dirinya untuk bertemu Allah. Kedua, dalam keadaan mukasyafah, Abu Yazid menyaksikan keagungan Allah atau musyahadah. Ketiga, pada tahap musyahadah, ia mengenal Allah secara langsung yang dikenal dalam tasawuf sebagai ma’rifah. Keempat, dalam keadaan ma’rifah ini, Abu Yazid terpesona oleh keindahan Allah hingga merasakan kekal bersamanya.

Hulul berasal dari kata kerja halla-yahullu yang berarti ‘menempati’ atau ‘menjelma.’ Dalam konteks tasawuf filosofis, hulul adalah pengalaman spiritual ketika seorang sufi merasa sangat dekat dengan Allah. Dalam pandangan al-Hallaj, ada empat proses yang terjadi saat hulul: (1) Tuhan mendekati sufi; (2) Tuhan memilih sufi sebagai tempat hulul; (3) Tuhan menjelma dalam diri sufi; (4) Tuhan menyatu dengan sufi tersebut.

Secara filosofis, hulul dibangun di atas teori lahut dan nasut. Lahut berhubungan dengan keilahian atau ketuhanan, sedangkan nasut berkaitan dengan sifat kemanusiaan. Al-Hallaj menegaskan bahwa baik Tuhan maupun manusia memiliki dua aspek ini. Lahut Tuhan adalah zat yang ghaib, sedangkan nasut-Nya adalah roh yang ditiupkan ke dalam manusia. Dalam pandangan ini, hulul dapat terjadi antara nasut Allah dan lahut manusia karena roh manusia berasal dari roh Allah.

Wahdatul wujud terdiri dari dua kata: wahdat yang berarti kesatuan dan al-wujud yang berarti keberadaan. Secara keseluruhan, wahdatul wujud dapat dipahami sebagai kesatuan wujud. Konsep ini merupakan hasil perenungan Ibnu ‘Arabi mengenai hubungan wujud Allah dengan wujud alam. Menurutnya, hakikat wujud alam tidak ada karena hanya wujud Allah yang ada secara mutlak. Meskipun wujud alam tampak ada, ia bersifat nisbi dan tergantung pada kehadiran wujud Allah.

Namun, konsep wahdatul wujud ini menjadi perdebatan di kalangan ulama tauhid yang meyakini bahwa Allah dan alam memiliki wujud masing-masing. Wujud Allah dianggap absolut sementara wujud alam bersifat nisbi, yaitu ada karena adanya Pencipta. Wallahu ’alam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?