Dunia tasawuf, mistik, karamah, hikmah, dan berbagai fenomena supranatural lainnya selalu menarik perhatian publik. Hal ini terjadi baik pada mereka yang dikenal sebagai Gus—istilah untuk putra kiai di tanah Jawa—maupun Gus yang dibuat oleh diri sendiri. Karir di panggung tablig, yang merupakan podium yang sering disaksikan khalayak ramai, kadang meroket berkat pengalaman supranatural yang pernah mereka jalani.
Belakangan ini, umat dengan cepat mengimani setiap kejadian yang tampak irasional sebagai bentuk karamah. Seseorang yang terlihat memiliki energi “luar biasa” seringkali langsung dinyatakan sebagai wali. Namun, belum tentu mereka yang mampu melakukan hal-hal luar biasa seperti terbang atau melompat dari atap adalah wali Allah.
Lebih parah lagi, orang-orang yang meyakini kekeramatan individu tersebut, terutama masyarakat awam, cenderung mengikuti ke mana pun orang itu melangkah. Mereka dengan percaya diri dan patuh memenuhi segala permintaan individu tersebut. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami lebih jauh mengenai karakteristik sang sufi sejati agar tidak terjebak oleh orang-orang yang hanya berpura-pura sufi. Tentu saja, ini tidak terlepas dari pemahaman tasawuf itu sendiri.
Tasawuf (at-tashawwuf), yang berasal dari kata dasar tashawwafa-yatashawwafu, menurut Imam Junaid al-Baghdadi, merupakan proses spiritual seorang hamba untuk mencapai titik kepasrahan tertinggi. Dalam kondisi ini, hamba dan Tuhannya berada dalam hubungan yang dekat tanpa sekat. Imam Ahmad bin Muhammad bin ‘Ajibah al-Hasani dalam Iqazhul Himam fi Syarhil Hikam menjelaskan bahwa:
هو أن يُميتَكَ الحقُّ عنك ويُحيِيْك به. وقال أيضا أن تكون مع الله بلا علاقة
Artinya, “Bertasawuf adalah kondisi spiritual di mana engkau benar-benar pasrah bahwa hidup dan matimu berada di bawah kendali Allah. Saat engkau hidup bertasawuf, berarti engkau tengah hidup berdampingan langsung dengan Allah tanpa sekat apapun.”
Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa bertasawuf adalah Ad-dukhul fi kulli khuluqin saniyyin, wal khuruj min kulli khuluqin daniyyin (masuk sepenuhnya ke dalam setiap moralitas terpuji dan keluar sepenuhnya dari setiap moralitas tercela). Untuk memperjelas makna kepasrahan tersebut, Iqazhul Himam mengungkapkan:
الإناخة على باب الحبيب وإن طُرد
Artinya, “Tasawuf adalah berlutut pasrah selamanya di depan pintu sang kekasih, tak peduli meskipun dirinya diusir berkali-kali.”
Dari pemahaman ini, diharapkan kita semua dapat menemukan sedikit pencerahan di tengah kabut yang menyelimuti hakikat tasawuf selama ini. Kita juga perlu mengetahui bagaimana sebenarnya sosok sang sufi sejati. Jangan sampai ada kesimpulan bahwa setiap kejadian luar biasa adalah karamah atau kelebihan yang dimiliki oleh orang-orang tertentu.
Sang sufi sejati tidak berbeda dengan koloni semut yang tetap berjalan berbaris melaksanakan tugas masing-masing, hingga perabot rumah tangga seperti sapu mengganggu mereka. Istilah “sang sufi sejati” pada awalnya berjalan rapi tanpa ada yang merasa perlu mendefinisikannya atau menjelaskan karakteristik sufi. Namun, keadaan ini berubah dengan munculnya para sufi palsu yang berpura-pura sufi.
Kedatangan tokoh-tokoh sufi sejati sejak abad pertengahan membawa kritik kepada para pemuka agama yang menyebut diri sebagai ulama—istilah yang lebih populer dibanding sufi pada masa itu—namun berperilaku munafik demi kepentingan duniawi. Mereka menjual nama ulama untuk mendapatkan dukungan dari penguasa. Salah satu kitab terkenal dalam konteks ini adalah Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali, di mana golongan ini disebut sebagai ulama su’ (ulama amoral).
Sufi sejati dapat dikenali melalui beberapa tanda atau karakteristik tertentu. Ibnu Ajibah menjelaskan tiga karakteristik sufi sejati dalam syarah Al-Hikam al-‘Athaiyyah miliknya:
والصوفي الصادق أن يفتقر بعد الغنى ويذل بعد العز ويخفى بعد الشهرة
Artinya, “Sufi sejati selalu merasa butuh kepada Allah walaupun telah kaya raya, selalu merasa hina meskipun telah mendapatkan kemuliaan, dan selalu merasa terpendam meski telah mendapatkan popularitas tertinggi.”
Kita sepakat bahwa kekayaan bukan penghalang untuk menjadi sufi sejati, namun yang terpenting adalah tidak terpedaya oleh kekayaan tersebut. Begitu pula dengan kemuliaan dan ketenaran; jika kekayaan membuatnya sombong atau lebih rakus mengejar dunia, atau jika kemuliaan membuatnya merasa terhormat saat dicaci dan keberatan ketika orang lain tidak menghormatinya, jelas ia bukanlah sufi sejati.
Imam Al-Hasan Ibnu Manshur mengatakan bahwa “As-shufiyyu wahidun fi ad-dzati la yaqbaluhu ahad(un) wala yaqbalu ahad(an)” (sufi sejati adalah sosok dengan kepribadian tunggal yang tidak tergantung pada orang lain; tidak butuh pengakuan dan tidak menjual nama orang lain untuk kepentingannya sendiri).
Sering dikatakan bahwa sang sufi sejati ibarat tanah subur yang menerima segala hal buruk namun selalu membalas dengan segala bentuk kebaikan. Para ulama menyatakan:
من أقبح كل قبيح صوفي شحيح
Artinya, “Keburukan paling parah terdapat dalam diri seorang sufi yang pelit.”
Hal ini karena gelar sufi diberikan kepada pelaku kebajikan terbaik, sementara Al-Qur’an dengan tegas menyatakan, “Lan tanalul birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun” (Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebajikan sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai [QS. Ali Imran 3:92]).
Marilah kita perlahan berbenah diri dan tidak tertipu oleh orang-orang yang berpura-pura sufi. Semoga kita semua senantiasa dijaga oleh Allah dalam keadaan lahir dan batin.