- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Khalwat: Makna dan Pentingnya dalam Tarekat Naqsabandiyah

Google Search Widget

Khalwat memiliki dua makna yang sangat berbeda dalam bahasa kita. Pertama, ia merujuk kepada tindakan mengasingkan diri di tempat yang sunyi untuk bertafakur dan beribadah. Kedua, maknanya adalah berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram di tempat yang tersembunyi. Meskipun kedua makna tersebut tampak bertentangan, keduanya memiliki kesamaan, yaitu berkaitan dengan keberadaan di tempat yang sunyi. Dalam konteks ini, fokus kita adalah pada khalwat dengan makna pertama.

Bagi pengamal Tarekat Naqsabandiyah, khalwat merupakan amalan wajib yang tidak dapat ditawar. Seorang salik (hamba yang berusaha menuju esensi Allah dengan makrifatnya) tidak akan mampu mencapai tujuan, yaitu wushul ilallah, tanpa melalui praktik berkhalwat.

Mengenai pentingnya khalwat dalam prinsip Tarekat Naqsabandiyah, Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili menyatakan dalam karyanya, Tanwirul Qulub fi Mu’amalati ‘Allamil Guyub, bahwa seorang salik tidak mungkin sampai pada makrifat esensi Tuhan dan menerangi jiwa-jiwa tersesat kecuali dengan berkhalwat. Hal ini terutama berlaku bagi mereka yang memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan jalan yang benar kepada umat manusia.

Para mursyid, kiai, dan guru dalam halaqah Tarekat Naqsabandiyah adalah individu-individu yang telah menempuh jalan khalwat. Mereka telah menemukan cahaya yang terpatri dalam hati mereka, sehingga tidak ada cacian atau kebencian yang keluar dari lisan mereka. Sangat wajar jika banyak orang terpesona saat melihat para mursyid Tarekat Naqsabandiyah, seperti Maulana Habib Luthfi bin Yahya, yang bersahaja dan penuh wibawa. Mereka yang mendengar nasihatnya akan segera menyadari kesalahan tanpa diminta.

Syekh Muhammad Amin bin Syekh Fathullah Zadah al-Kurdi al-Irbili adalah seorang pemuda dari Irbil yang tumbuh sebagai seorang asketis besar. Ia lahir di Irbil, dekat kota Mosul, Irak. Meskipun tidak ada kepastian mengenai tanggal dan tahun lahirnya, sebagian sejarawan memperkirakan bahwa ia lahir pada paruh kedua abad ke-13 Hijriah karena ia wafat pada 1332 H/1914 M.

Syekh Muhammad Amin dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama dan belajar al-Qur’an dari ayahnya sendiri, Syekh Fathullah, yang dikenal sebagai al-‘arif billah. Ayahnya adalah seorang penganut Tarekat Qadiriyah. Sejak kecil, Syekh Muhammad Amin menghabiskan waktu untuk mendapatkan ridha Allah sesuai dengan ajaran sang ayah dan guru-gurunya, sehingga ia akhirnya menjadi seorang mursyid Tarekat Naqsabandiyah. Setelah wafatnya, kepemimpinan dilanjutkan oleh muridnya, Syekh Salamah al-‘Azami, dan kemudian oleh putranya sendiri, Syekh Najmuddin al-Kurdi.

Tarekat Naqsabandiyah memiliki banyak pengikut, terutama di Indonesia, dan diakui kualitasnya di berbagai belahan dunia. Sayyid Muhammad Bahauddin an-Naqsabandi, seorang imam besar Tarekat Naqsabandiyah, pernah menyatakan bahwa fase pemula di tarekat ini adalah puncak bagi tarekat lain. Pernyataan ini mencerminkan tingginya kualitas Tarekat Naqsabandiyah.

Kualitas tinggi ini tidak terlepas dari ajaran utama yang disebut khalwat. Khalwat bukan sekadar menyepi; ia memiliki banyak syarat dan ketentuan. Syekh Muhammad Amin al-Kurdi mencatat 20 syarat khalwat dalam Tarekat Naqsabandiyah yang harus dipenuhi sebelum dan selama pelaksanaannya:

  1. Berniat memutus rantai riak dan sumah secara lahir batin.
  2. Memohon izin dan sambungan doa kepada mursyid.
  3. Terbiasa menyendiri, tidak tidur malam dalam keadaan tidak kenyang sambil berzikir.
  4. Di hari pertama masuk ruang khalwat, melakukan ritual tertentu.
  5. Selalu suci (daimul wudhu).
  6. Jauhkan keinginan untuk mendapatkan kekeramatan.
  7. Selama ritual, tidak boleh bersandar ke dinding.
  8. Mampu membayangkan sosok mursyid di hadapannya.
  9. Dalam kondisi berpuasa.
  10. Puasa bicara, kecuali saat berzikir atau ada bahaya.
  11. Selalu menyadari kehadiran empat musuh: setan, dunia, hasrat rendah, dan nafsu.
  12. Menjauh dari suara dan kegaduhan.
  13. Tidak boleh absen shalat jamaah dan jumat.
  14. Saat keluar dari tempat khalwat, kepala harus merunduk dan melihat ke tanah.
  15. Tidak boleh sengaja tidur; jika tertidur harus dalam kondisi suci.
  16. Menjaga stabilitas antara lapar dan kenyang.
  17. Tidak membuka pintu bagi siapa pun kecuali gurunya.
  18. Menganggap setiap nikmat berasal dari gurunya yang bersumber dari baginda Nabi Muhammad (SAW).
  19. Menghilangkan seluruh lintasan hati baik atau buruk; senantiasa berada dalam kepasrahan.
  20. Tidak pernah berhenti berzikir hingga diperintahkan keluar oleh mursyid.

Pelaksanaan ritual untuk syarat keempat meliputi langkah-langkah berikut:

  1. Masuk tempat khalwat dengan kaki kanan sambil membaca taawuz dan basmalah serta Surat An-Nas tiga kali.
  2. Memasukkan kaki kiri sambil membaca doa khusus.
  3. Berdiri di atas tempat shalat dan membaca doa tertentu 21 kali.
  4. Melaksanakan shalat dua rakaat dengan bacaan tertentu pada masing-masing rakaat.
  5. Setelah salam, membaca doa Ya Fattah sebanyak 500 kali dan melanjutkan wirid dari mursyid.

Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi pembaca yang ingin memahami lebih dalam tentang khalwat dalam Tarekat Naqsabandiyah.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?