Gelombang demonstrasi di Tiongkok baru-baru ini mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan lockdown yang diterapkan pemerintah untuk mengendalikan penyebaran Covid-19. Dalam aksi tersebut, para demonstran menuntut agar Presiden Xi mengundurkan diri dari jabatannya.
Isu pemecatan kepala negara atau pemakzulan pernah dibahas dalam konteks fiqhiyah pada Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) yang berlangsung pada awal Agustus 2015 di Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur. Dalam diskusi tersebut, para ulama sepakat bahwa masyarakat wajib menaati pemimpin selama pemimpin tersebut menjalankan amanat dengan baik. Selain itu, pemecatan pemimpin tidak dapat dilakukan tanpa alasan yang sah.
Pemakzulan pemimpin, baik presiden, gubernur, maupun bupati, berpotensi menimbulkan masalah lebih besar, yaitu ketidakstabilan politik dan pemerintahan. Tanpa alasan yang jelas dan dibenarkan, tindakan pemakzulan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menciptakan instabilitas politik yang berdampak luas pada berbagai sektor.
Forum Muktamar Ke-33 NU di Jombang memutuskan bahwa mayoritas ulama berpendapat tidak ada alasan yang cukup untuk memberhentikan pemimpin kecuali jika terbukti melanggar konstitusi. Jika seorang pemimpin terbukti dan ditetapkan secara hukum telah melanggar konstitusi, maka ia dapat dimakzulkan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Direkomendasikan untuk mengundurkan diri;
b. Jika menolak untuk mundur dan tidak ingin bertobat, maka dapat dimakzulkan sesuai dengan aturan konstitusional selama tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar;
c. Proses pemberhentian harus mengikuti tahapan konstitusi yang berlaku.
Peserta forum Muktamar Ke-33 NU mengutip Kitab Raudhatut Thalibin karya Imam An-Nawawi, yang menyatakan:
“Keempat, tidak boleh memakzulkan pemimpin tanpa sebab. Jika sekelompok masyarakat mencoba memecatnya, maka kedudukannya sebagai pemimpin tetap sah. Namun, jika pemimpin mengundurkan diri, harus dipertimbangkan apakah pengunduran dirinya disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam menjalankan pemerintahan akibat faktor usia, sakit, atau lainnya, maka ia telah termakzulkan.”
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa demonstrasi dalam konteks demokrasi adalah tindakan konstitusional yang harus disikapi dengan bijak, terutama jika aksi tersebut berlangsung secara damai. Tuntutan pemakzulan terhadap pemimpin tidak dapat dibenarkan tanpa adanya pelanggaran konstitusi yang nyata.