- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Sistem Kerja “Kerajaan Jiwa” Manusia Menurut Imam Al-Ghazali

Google Search Widget

Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya’us Sa’adah menjelaskan tentang sistem kerja dalam diri manusia, mengibaratkan manusia sebagai sebuah negara yang memiliki berbagai aparatur dengan tugas dan fungsi yang berbeda. Dalam “negara manusia” ini, hati berfungsi sebagai raja yang memiliki pengaruh kuat dan kemampuan memerintah secara mutlak terhadap anggota tubuh lainnya. Namun, hati yang dimaksud bukanlah sekadar organ fisik yang terletak di dada, melainkan perangkat mikrokosmos yang bersifat lathifah, rabbaniyah, dan ruhaniyah.

Hati memiliki hubungan erat dengan jantung, mirip dengan aliran listrik yang menghidupkan alat-alat elektronik. Sementara jantung dapat dimiliki oleh manusia yang sudah meninggal, hati sebagai pusat spiritual tidak dapat dipisahkan dari sifat-sifat kemanusiaan.

Peran Aparatur dalam “Negara Manusia”
Sebagai raja, hati memiliki beberapa aparatur dengan fungsi yang berbeda:

  • Akal berperan sebagai perdana menteri yang mengolah informasi.
  • Pancaindra berfungsi sebagai intelijen yang mengumpulkan informasi dari lingkungan sekitar.
  • Nafsu syahwat berperan sebagai bendahara yang berfokus pada kepuasan duniawi.
  • Nafsu ghadlab diibaratkan sebagai aparat militer yang cenderung bersikap superior.
  • Anggota tubuh lainnya seperti tangan dan kaki berfungsi sebagai rakyat yang melaksanakan perintah.

Ketika hati sebagai raja mampu mengondisikan semua aparaturnya dengan baik, “negara manusia” akan menjadi kondusif dan makmur. Sebaliknya, jika hati tidak mampu mengendalikan sifat dasar aparaturnya, maka individu akan kesulitan untuk meraih kebahagiaan.

Siklus Kerja Aparat
Pancaindra sebagai lembaga intelijen berfungsi untuk mendapatkan dan mengumpulkan informasi dari luar. Informasi tersebut kemudian disampaikan kepada akal untuk disimpan dan dianalisis. Setelah itu, akal akan melaporkan kepada hati untuk mengambil keputusan. Jika hati dalam keadaan baik, ia akan memerintahkan anggota tubuh untuk berbuat baik, sebaliknya jika hati kotor, maka tindakan yang diambil tidak akan baik.

Contoh konkret dari siklus ini adalah ketika telinga mendengar suara adzan. Informasi tersebut dilaporkan kepada akal, dan jika akal menyimpulkan bahwa tindakan baik perlu dilakukan, maka hati akan menggerakkan anggota tubuh untuk segera pergi ke masjid.

Menjaga Kesucian Hati
Imam Al-Ghazali menyarankan agar kita menjaga kesucian hati dengan mengondisikan nafsu syahwat dan ghadlab. Jika keduanya belum bisa dikendalikan, maka kita harus berusaha untuk menahan diri melalui mujahadah. Hawa nafsu tidak mungkin dihilangkan sepenuhnya, tetapi dapat dikelola agar “negara manusia” dapat berfungsi dengan baik.

Dengan hawa nafsu yang terjaga, individu dapat hidup dengan lebih baik, beribadah dengan khusyuk, dan berkontribusi positif bagi masyarakat. Semoga kita dapat menerapkan ajaran ini dalam kehidupan sehari-hari dan menjaga hati kita dari hal-hal yang dapat merusak kesucian dan ketaatan kita kepada Allah (SWT). Wallahu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?