Dalam banyak hadits, keimanan dan akhlak terpuji dikaitkan erat sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan. Kemuliaan akhlak seseorang menjadi ukuran kualitas keimanannya. Rasulullah (SAW) bersabda:
أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم أخلاقا
Artinya: “Orang yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin).
Rasulullah (SAW) juga menyinggung hubungan antara keimanan kepada Allah dan hari akhir dengan akhlak yang baik terhadap tamu dan tetangga. Seorang yang beriman dan ahli ibadah dituntut untuk memperbaiki akhlaknya.
Sahabat Anas bin Malik (RA) menjelaskan bahwa akhlak seseorang dapat menentukan derajat dan nasibnya di akhirat. Ia mengatakan:
إن العبد ليبلغ بحسن خلقه أعلى درجة في الجنة وهو غير عابد ويبلغ بسوء خلقه أسفل درك في جهنم وهو عابد
Artinya: “Seseorang dapat mencapai derajat tertinggi di surga dengan kebaikan akhlaknya meskipun ia bukan ahli ibadah. Sebaliknya, seseorang dapat terjatuh pada lapisan terbawah neraka Jahannam karena keburukan akhlaknya meskipun ia ahli ibadah.” (HR Imam Al-Ghazali).
Dalam pergaulan sehari-hari, kita lebih merasa nyaman bergaul dengan orang yang memiliki akhlak mulia daripada dengan orang yang buruk akhlaknya. Fudhail bin Iyadh (RA) mengungkapkan bahwa ia lebih memilih bergaul dengan orang yang mulia akhlaknya meskipun bukan ahli ibadah. Ia berkata:
لأن يصحبني فاجر حسن الخلق أحب إلي من أن يصحبني عابد سيي الخلق
Artinya: “Persahabatan dengan pendosa yang baik akhlaknya lebih kusukai daripada bergaul dengan ahli ibadah yang buruk akhlaknya.” (Imam Al-Ghazali).
Pernyataan ini bukan berarti menganggap remeh ibadah jika tidak diiringi dengan akhlak yang baik. Justru, hal ini menjadi pengingat bagi semua orang, baik ahli ibadah maupun bukan, untuk senantiasa berakhlak mulia. Idealnya, setiap Muslim seharusnya menjadi ahli ibadah yang juga memiliki akhlak terpuji.
Dengan memahami pentingnya akhlak dalam kehidupan sehari-hari, kita diharapkan dapat meningkatkan kualitas diri dan menjadi pribadi yang lebih baik. Wallahu a’lam.