Rasa lapar tidak sepenuhnya buruk; ia merupakan ujian dari Allah bagi manusia. Dalam konteks spiritual, rasa lapar dapat menjadi pengalaman keagamaan yang meningkatkan spiritualitas seseorang. Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah ayat 155 menyebutkan bahwa rasa takut dan rasa lapar adalah ujian kesabaran bagi manusia. Allah berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Kami menguji kalian dengan sedikit rasa takut dan rasa lapar… Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah: 155).
Imam Al-Qusyairi mengutip ayat ini sebagai pengantar dalam bab tentang lapar dan menahan syahwat dalam karyanya, Ar-Risalatul Qusyairiyah. Dalam bab tersebut, ia juga menyampaikan hadits Rasulullah (SAW) mengenai keutamaan menahan rasa lapar.
Dari Anas bin Malik (RA), diceritakan bahwa Fatimah (RA) membawa potongan roti untuk Rasulullah (SAW) setelah tiga hari beliau tidak makan. Ketika ditanya, Fatimah menjelaskan bahwa potongan roti itu adalah makanan pertama yang masuk ke mulut ayahnya dalam tiga hari. Hal ini menunjukkan betapa besar kesabaran dan pengorbanan Fatimah untuk ayahnya.
Imam Al-Qusyairi menekankan bahwa rasa lapar melahirkan banyak hikmah dan kebijaksanaan. Rasa lapar merupakan jalan spiritual yang ditempuh oleh para nabi dan orang-orang saleh. Salah satu sufi besar, Yahya bin Mu’adz, pernah mengatakan bahwa jika lapar dijual di pasar, orang yang mengejar kehidupan akhirat seharusnya tidak membeli produk lain.
Oleh karena itu, lapar (al-ju‘u) menjadi salah satu pilar spiritualitas yang dijunjung oleh para sufi. Selain lapar, pilar spiritualitas lainnya adalah mengendalikan ucapan (as-shamtu), menghidupkan malam dengan ibadah dan tafakur (as-saharu), serta membatasi perjumpaan (al-uzlatu).
Dengan memahami keutamaan menahan rasa lapar, kita diharapkan dapat lebih menghargai ibadah puasa dan menjadikannya sebagai sarana untuk meningkatkan ketakwaan dan kedekatan kita kepada Allah (SWT). Wallahu a’lam.