- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Bersandar kepada Allah dalam Makrifat dan Tauhid

Google Search Widget

Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam-nya menyampaikan bahwa makrifat, ketauhidan, dan penghambaan seorang salik dapat diukur dari seberapa totalitas ia bersandar kepada Allah. Ibnu ‘Abbad, dalam syarahnya, menegaskan bahwa bersandar kepada Allah adalah ciri orang-orang yang mengenal dan mengesakan-Nya, sedangkan bersandar kepada selain Allah menunjukkan ketidaktahuan mereka. Ini mencakup segala bentuk selain Allah, seperti ilmu, amal, dan keadaan spiritual.

Mengapa bersandar kepada Allah menjadi tolok ukur makrifat dan tauhid seorang salik? Orang-orang yang makrifat dan bertauhid selalu menatap Allah dalam kedekatan dan musyahadah mereka, sehingga mereka tidak lagi melihat apapun yang ada pada diri mereka. Ketika mereka terjatuh dalam kelalaian atau kesalahan, mereka memandangnya sebagai perlakuan Allah dan harus menyadari bahwa mereka bukan hamba yang ma’shum, sehingga perlu segera memperbaiki diri dan tetap waspada. Sebaliknya, ketika mereka melakukan ketaatan, mereka tidak menganggap itu sebagai kelebihan, melainkan sebagai anugerah dari Allah. Dalam pandangan mereka, tidak ada perbedaan antara keadaan baik atau buruk, mudah atau sulit, karena mereka tenggelam dalam samudera ketauhidan. Rasa takut (khauf) dan harapan (raja’) mereka tetap seimbang, tidak berkurang meski mereka menjauhi kemaksiatan atau melakukan kebaikan.

Ibnu ‘Athaillah menyatakan, “Salah satu bergantung pada amal adalah berkurangnya harapan tatkala gagal.” Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang telah mencapai makrifat akan selalu bersama Allah, meyakini bahwa hanya Dia yang mengatur segala urusan mereka. Mereka tidak menuntut pahala dari ketaatan yang dilakukan, karena mereka tidak merasa sebagai pelaku, dan amal ibadah mereka belum tentu diterima di sisi-Nya. Kesalahan yang terjadi segera diperbaiki, karena hukuman tetap berlaku bagi yang bersalah.

Orang-orang yang belum mencapai makrifat cenderung menisbahkan amal dan perbuatan kepada diri mereka sendiri, sehingga mereka merasa berhak atas bagian dari amal baik. Ketika terjerumus ke dalam kesalahan, harapan mereka berkurang, dan ketika melakukan ketaatan, ketakutan mereka juga menurun. Ini menunjukkan bahwa mereka masih terikat pada sebab-sebab dan belum sepenuhnya mengenal Allah. Siapa pun yang mendapati ciri ini dalam dirinya, sebaiknya menyadari posisinya dan tidak menganggap dirinya dekat dengan Allah, melainkan sebagai orang baik dari kalangan awam.

Penting untuk dicatat bahwa pesan Ibnu ‘Athaillah bukanlah untuk mengurangi semangat amal dan ibadah, melainkan untuk mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas amaliah ibadah. Ia ingin agar ketergantungan kita bergeser dari amal, maqam, ilmu, dan keadaan spiritual kepada Allah, rahmat, dan karunia-Nya. Dengan demikian, meskipun seseorang telah berbuat salah, ia tetap bisa berharap akan rahmat dan pertolongan-Nya.

Untaian hikmah ini juga mencerminkan sabda Rasulullah (SAW) yang menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang akan masuk surga hanya karena amalnya, melainkan karena karunia dan rahmat Allah. Ini mengingatkan kita bahwa merasa bangga dengan amal ketaatan dapat menjerumuskan kita pada sikap takabur. Oleh karena itu, penting untuk tidak hanya bergantung pada amal kita, melainkan menyadari bahwa segala amal yang kita lakukan adalah hasil dari hidayah dan pertolongan-Nya.

Kualitas dan kuantitas amal tetap harus ditingkatkan, tetapi kita harus meluruskan ketergantungan kita terhadap amal tersebut. Bersyukurlah atas kemampuan beramal dan yakinkan diri bahwa itu semua adalah pertolongan dari-Nya. Tetaplah menjaga rasa takut meski telah berbuat ketaatan dan harapan walau pernah melakukan kesalahan.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?