Pada masa Rasulullah (SAW), terdapat sekelompok orang yang menyebarkan rumor tentang istri beliau, Aisyah (RA), yang mengganggu Nabi dan sahabat-sahabatnya. Setelah sebulan berkembangnya rumor tersebut, Allah (SWT) menurunkan ayat-ayat yang membantahnya, sekaligus memberikan pengajaran kepada umat tentang langkah yang harus diambil ketika tabayun tidak membuahkan hasil, terutama jika rumor tersebut menyangkut orang yang dikenal baik. Prof. Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya “Yang Hilang dari Kita: Akhlak” (2017) menjelaskan bahwa dalam QS An-Nur [24]: 12, Allah mengingatkan agar ketika seseorang mendengar rumor, sebagai orang beriman, kita harus bersangka baik terhadap orang yang dicemarkan namanya.
Ayat tersebut menyatakan: “Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: ‘Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.'” (QS An-Nur: 12). Pada ayat 24, Allah memperingatkan bahwa mereka yang senang menyebarkan berita-berita mencemarkan nama orang lain akan mendapatkan siksa yang pedih.
Krisis akhlak saat ini semakin akut, terutama di kalangan generasi muda. Umat Islam di Indonesia perlu memperhatikan tradisi keilmuan dan pendidikan di pesantren yang mengintegrasikan akhlak, ilmu, dan amal. Pendidikan di pesantren sangat menekankan pengembangan adab dan budi pekerti luhur, sehingga lembaga pendidikan ini menjadi benteng moral bagi generasi bangsa dari zaman ke zaman.
Di era digital saat ini, kemudahan komunikasi melalui perangkat elektronik dan media sosial membuat prasangka buruk menjadi hal yang mengkhawatirkan. Kebencian dan prasangka buruk terhadap orang-orang yang tidak disukai dapat melahirkan caci maki, fitnah, dan hasutan. Prasangka buruk sendiri merupakan dosa serius dan disamakan dengan ucapan yang paling dusta. Oleh karena itu, masyarakat yang sering menggunakan gadget seharusnya merenungkan kembali tuduhan-tuduhan keji yang mungkin pernah diucapkan atau ditulis di media sosial, serta mempertanyakan kebenarannya.
Buruk sangka bukanlah ciri orang beriman. Seorang beriman seharusnya lebih mendahulukan prasangka baik kepada siapa pun, termasuk kepada Allah. Imam Syafi’i berwasiat agar siapa pun yang ingin meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah hendaknya selalu berprasangka baik kepada manusia. Berprasangka baik ini juga diperintahkan kepada Allah (SWT), bahwa Dia akan memperlakukan kita dengan baik, memberikan kebahagiaan, dan menyelamatkan kita di akhirat. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman: “Aku ‘mengikuti’ prasangka hamba-Ku kepada-Ku, maka silakan berprasangka apa saja terhadap-Ku.” (HR. Ahmad).
Jika Allah memperlakukan manusia sesuai dengan prasangka mereka terhadap-Nya, maka akan lebih baik jika kita berprasangka baik. Akal yang sehat dan jiwa yang lurus tentu akan memilih untuk berprasangka baik kepada Allah.