Tingkat keparahan wabah Covid-19 sangat bervariasi. Pasien yang terinfeksi dapat mengalami kondisi tanpa gejala, sementara yang lain mungkin memerlukan perawatan di rumah sakit. Bagi pasien yang tidak bergejala atau bergejala ringan, karantina atau isolasi mandiri menjadi pilihan. Namun, bagi pasien yang dirawat, dukungan mental sangat penting selama proses penyembuhan. Karakter wabah Covid-19 membatasi akses anggota keluarga untuk menjenguk pasien, sehingga komunikasi hanya bisa dilakukan melalui media digital.
Pasien yang dirawat di rumah sakit sering kali memiliki penyakit penyerta yang dapat memperburuk gejala Covid-19. Dalam situasi ini, dukungan dari sesama sangat dibutuhkan agar pasien tetap kuat menghadapi penyakitnya. Berbagai kemungkinan hasil pengobatan harus disikapi dengan kesiapan dan kebesaran hati. Ulama Islam telah memberikan pedoman tentang cara membesarkan hati pasien yang terdampak pandemi. Imam as-Suyuthi dalam kitab “Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Thaun” menuliskan bahwa pasien perlu mendapatkan berita-berita yang menggembirakan. Dokter, perawat, dan petugas kesehatan yang memiliki akses terhadap pasien dapat menerapkan amalan ini. Keluarga juga dapat memberikan dukungan melalui komunikasi dengan pasien menggunakan media seperti HP atau WhatsApp.
Inti dari dukungan ini adalah memberikan ketenangan. Ketika pasien merasa tenang, penerimaan diri terhadap kondisi sakit akan meningkat. Kepasrahan yang muncul akan diimbangi dengan harapan yang baik, memotivasi pasien untuk sembuh. Saat pandemi Covid-19 merebak kembali, tidak semua pasien dirawat di rumah sakit; beberapa menjalani isolasi mandiri di rumah atau fasilitas lain. Jika pasien ditangani oleh petugas kesehatan, aspek etika perawatan biasanya sudah dipahami. Namun, bagi pasien di rumah, keluarga perlu memahami cara memberikan dukungan yang tepat.
Pasien yang dirawat di rumah tidak boleh dikucilkan. Anggota keluarga yang serumah harus menerapkan protokol kesehatan, seperti memakai masker dan menjaga jarak. Ruangan khusus dapat disediakan untuk pasien yang terpapar, dan barang-barang pribadi pasien harus dipisahkan dari anggota keluarga yang sehat. Makanan dan minuman juga perlu dipisahkan agar pasien tidak berinteraksi langsung dengan anggota keluarga lainnya.
Jika kondisi memungkinkan, pasien dapat beraktivitas di halaman rumah untuk berjemur, tetapi tetap harus menjaga jarak dari anggota keluarga yang lain. Masyarakat sekitar juga perlu berinisiatif memperhatikan kebutuhan keluarga yang tinggal serumah dengan pasien, menerapkan konsep “jogo tonggo” sebagai bentuk kesetiakawanan sosial. Tetangga dapat menyampaikan makanan atau kebutuhan primer lainnya dengan tetap menjaga protokol kesehatan.
Al-Ustadz Umar Baradja dalam “Kitab Akhlak lil Banin” menjelaskan adab terhadap orang yang penyakitnya menular. Ia menganjurkan untuk memberi salam, mendoakan kesembuhan, dan menanyakan keadaan pasien dengan suara yang tenang. Pertanyaan harus disampaikan dengan hati-hati agar tidak menambah kecemasan pasien. Selain itu, masyarakat harus menghindari pertanyaan mengenai kemungkinan sebab terpaparnya pasien, karena hal ini sebaiknya ditangani oleh petugas kesehatan yang berwenang.
Hal penting lainnya adalah membantu menyediakan suplemen, jamu, atau obat yang bermanfaat bagi pasien. Masyarakat dapat menerapkan langkah-langkah kreatif untuk membantu pasien merasa terbantu. Upaya-upaya disertai adab dalam memberikan dukungan kepada pasien yang terdampak pandemi dapat menunjang penyembuhan dan berbuah amal saleh bagi orang-orang yang membantunya.