Mengkaji tasawuf tidak dapat dipisahkan dari sosok hujjatul Islam, Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Ia tidak hanya mengajarkan ilmu pembukaan hati (mukasyafah), tetapi juga ilmu pengamalannya (mu’amalah), yang menunjukkan integrasi antara ilmu syariat dan hakikat. Dalam kitab “Minhajul Abidin,” Al-Ghazali menegaskan sikapnya terkait dikotomi ilmu tasawuf dan syariat, terutama hukum fiqih. Ia menentang keras pandangan orang-orang tasawuf yang mengingkari ibadah ritual. Menurutnya, ibadah ritual perlu dikembangkan dan dipelihara dengan menanamkan arti, makna, dan rahasia di balik kandungan ibadah tersebut.
Sebagai contoh, dalam bersuci atau berwudhu, Al-Ghazali menjelaskan bahwa tindakan ini tidak hanya sekadar menuangkan air dan membersihkan badan dari kotoran, tetapi meliputi beberapa aspek penting:
- Membersihkan Lahir: Menghilangkan hadats dan berbagai kotoran dari anggota badan.
- Membersihkan Hati: Menghapus tingkah laku dan akhlak tercela dari dalam diri.
- Menyucikan Anggota Badan: Menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
- Membersihkan Diri dari Pengabdian Selain Allah: Mengarahkan pengabdian hanya kepada Allah SWT.
Ajaran Al-Ghazali ini kemudian diadopsi oleh para penganut tasawuf di Jawa pada abad ke-19 dan ke-20, yang mengajarkan tiga tingkatan bersuci dan empat tingkatan sembahyang. Tiga tingkatan bersuci tersebut adalah:
- Bersuci Badan: Membersihkan raga dengan air, seperti berwudhu dan mandi.
- Bersuci Mulut: Membersihkan ucapan dan tutur, tidak hanya dalam konteks makan.
- Bersuci Hati: Menghilangkan kotoran batin.
Sementara itu, empat tingkatan sembahyang dalam konteks ini adalah:
- Sembah Raga: Sama dengan shalat dalam syariat.
- Sembah Cipta: Proses bertarekat.
- Sembah Jiwa: Mengarah pada hakikat.
- Sembah Rahsa: Proses menuju makrifat.
Keempat tingkatan sembahyang dan tiga tingkatan bersuci ini harus dilaksanakan secara utuh dan lengkap, tidak boleh hanya salah satu saja. Hal ini sejalan dengan prinsip ajaran syariat dan hakikat dari Imam Al-Ghazali yang harus saling menyatu.
Serat Centhini, sebuah karya besar sastra Jawa, juga mencakup ajaran-ajaran ini. Buku ini dikenal sebagai ensiklopedi kebudayaan Jawa, berisi berbagai pengetahuan mulai dari sejarah, pendidikan, hingga tasawuf dan mistik. Penulisan Serat Centhini dimulai pada tahun 1814 M atas perintah Adipati Anom Amangkunagara III, yang kemudian menjadi raja Kasunanan Surakarta.
Dengan memahami prinsip penyucian jiwa menurut Imam Al-Ghazali, kita dapat lebih mendalami makna ibadah dan meningkatkan kualitas spiritual kita. Wallahu a’lam.