Dalam kajian sains, peran dan pandangan Ibnu Rusyd sangat menarik untuk diperhatikan, terutama dalam konteks hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama. Ibnu Rusyd, seorang cendekiawan Muslim abad pertengahan, mengintegrasikan ilmu syariat dan hakikat. Ia menekankan bahwa sains bukan hanya sekadar pengetahuan, tetapi juga merupakan alat untuk memahami keberadaan Tuhan.
Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa sains adalah cara untuk membuktikan kebenaran dan keberadaan Allah (SWT). Dalam pandangannya, alam diciptakan oleh Tuhan berdasarkan hukum-hukum yang mengaturnya, yaitu hukum kausalitas. Dengan demikian, memahami hukum-hukum alam adalah bagian dari usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam kitab “Ihya Ulumiddin,” ia menyebutkan bahwa orang yang berilmu memiliki tanggung jawab untuk menemukan hukum-hukum alam sebagai pengetahuan filosofis.
Dalam konteks ini, Ibnu Rusyd mengajukan empat jalan untuk memperbaiki diri, yang mencakup pengendalian nafsu dan peningkatan kualitas spiritual. Ia berpendapat bahwa menjaga kebersihan hati dan menghindari dosa adalah langkah penting dalam mencapai keimanan yang lebih tinggi.
Sementara itu, pandangan sains di dunia Barat, seperti yang dikemukakan oleh Auguste Comte, berbeda jauh. Comte melihat sains sebagai perkembangan dari agama, di mana manusia awalnya dikuasai oleh misteri fenomena alam, kemudian beralih ke agama, dan akhirnya menuju filsafat metafisika sebelum mencapai tahap sains yang sekuler. Dalam pandangannya, agama menjadi tidak diperlukan ketika manusia telah menguasai dan memahami alam.
Kesimpulannya, terdapat perbedaan mendasar antara pandangan sains dalam Islam dan Barat. Cendekiawan Muslim seperti Ibnu Rusyd memandang sains sebagai penguat agama, sementara di Barat, sains berkembang menjadi sekuler dan bebas nilai. Islam memberikan ruang yang baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan, yang sejalan dengan semangat Al-Qur’an, sedangkan di Barat, sains sering kali terlepas dari nilai-nilai spiritual. Wallahu a’lam.