Kepercayaan bahwa nasib ukhrawi kita, baik itu surga atau neraka, tergantung pada amal perbuatan dapat mencerminkan tingkat spiritualitas yang masih rendah. Amal dan ibadah yang kita lakukan di dunia ini ibarat anak tangga yang harus dilalui satu per satu, sedangkan untuk mencapai surga, kita harus melewati banyak anak tangga lainnya, yang sepenuhnya merupakan hak prerogatif Allah SWT. Oleh karena itu, seharusnya kita tidak lagi menganggap bahwa surga dan neraka semata-mata ditentukan oleh amal kita.
Rasulullah (SAW) sendiri menegaskan bahwa amalnya tidak mampu menjamin keselamatannya. Hal ini bukan berarti amal beliau tidak berarti, melainkan sebagai pengajaran bagi umatnya untuk tidak mengandalkan amal semata. Dalam konteks ini, husnuzhzhan (berbaik sangka) kepada Allah menjadi penting. Husnuzhzhan bukan hanya sebuah ibadah, tetapi juga sebuah doa yang menunjukkan keyakinan kita kepada-Nya. Allah SWT menyelamatkan hamba-Nya bukan karena amalnya, tetapi karena Dia mengabulkan doa hamba yang berbaik sangka.
Dalam kitab Husnuzhzhan Billah, Syekh Ibnu Abid Dunya mengutip banyak kisah orang-orang yang beruntung di akhirat berkat husnuzhzhan mereka kepada Allah. Salah satu contohnya adalah Imam Muhammad Ibnu Sirin, yang dikenal memiliki harapan dan rasa takut yang sangat tinggi kepada Allah. Ia dipuji oleh Ibnu ‘Aun sebagai sosok yang memiliki harapan besar untuk umat ini.
Begitu pula dengan Malik bin Dinar, seorang ulama yang gigih menyebarkan agama Islam. Setelah wafat, ia dikisahkan bertemu saudaranya dalam mimpi dan menjelaskan bahwa ia datang dengan banyak dosa, namun semua itu terhapus oleh baik sangkanya kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa husnuzhzhan dapat menjadi penyelamat di akhirat.
Rasulullah (SAW) mengingatkan umatnya untuk selalu berbaik sangka kepada Allah, bahkan hingga saat-saat menjelang kematian. Dalam sebuah hadis, beliau menyatakan bahwa ada kaum yang binasa karena prasangka buruk mereka kepada Allah. Oleh karena itu, kita perlu menjaga husnuzhzhan kita kepada-Nya agar tidak termasuk dalam golongan yang merugi.
Kisah Zaid yang bermimpi bertemu sahabatnya Hausyab juga menggambarkan pentingnya berbaik sangka kepada Allah. Hausyab menganjurkan Zaid untuk tidak lepas dari majelis zikir dan berbaik sangka kepada Allah, sebagai kunci keberuntungan dan kesuksesan.
Sebagai penutup, syair Abu ‘Imran as-Sulami mengingatkan kita bahwa meskipun kita memiliki banyak dosa, keyakinan akan ampunan Allah harus selalu ada dalam hati kita. Semoga kita semua dapat mengamalkan husnuzhzhan kepada Allah dalam setiap aspek kehidupan kita.