Tawakal merupakan salah satu konsep fundamental dalam ilmu tasawuf yang telah dibahas oleh banyak ulama. Salah satu tokoh sufi yang terkenal dengan pemikiran tentang tawakal adalah Syekh Abu Qasim al-Qusyairi, seorang sufi besar dari abad keempat hijriah. Beliau dikenal melalui karya-karyanya yang berpengaruh, seperti Lathaif al-Isyarat dan Risalah al-Qusyairiyyah. Lahir di Naisabur pada tahun 376 Hijriah dan wafat pada tahun 465 Hijriah, kontribusi Syekh Abu Qasim al-Qusyairi dalam memetakan maqamat (tingkatan spiritual) dan ahwal (kondisi spiritual) sangat dihargai oleh para ulama tasawuf.
Menurut Syekh Abu Qasim al-Qusyairi, tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah. Beliau berpendapat bahwa tawakal berarti memilih Allah sebagai Dzat yang menentukan hasil dari setiap perkara yang dihadapi oleh seorang hamba. Dalam penjelasannya, beliau mengutip Sahal bin Abdullah yang menyatakan bahwa awal dari derajat tawakal adalah ketika seorang hamba merasakan kepasrahan kepada Allah, layaknya jenazah yang mudah dibolak-balik oleh orang yang memandikannya.
Pada masa kehidupan Syekh Abu Qasim al-Qusyairi, umat Islam mengalami konflik mengenai kekuasaan dan kekayaan, yang berujung pada perebutan harta duniawi. Hal ini menyebabkan sebagian umat Islam menjadi apatis terhadap kekayaan dan jabatan, memilih untuk menghindar dari kewajiban bekerja dan lebih fokus pada ibadah dengan alasan tawakal. Akibatnya, mereka dianggap sebagai kaum pemalas oleh sebagian umat Islam lainnya. Dalam konteks ini, Syekh Abu Qasim al-Qusyairi menjelaskan bahwa tawakal sejati terletak di dalam hati dan tidak bertentangan dengan usaha lahiriah, selama seseorang meyakini bahwa takdir berasal dari Allah.
Ajaran tasawuf tidak mengajarkan untuk bermalas-malasan. Sebaliknya, Syekh Abu Qasim al-Qusyairi menekankan bahwa sifat tawakal harus diimbangi dengan usaha. Ia mengutip pendapat Sahal bin Abdullah yang menegaskan bahwa sifat tawakal adalah keadaan Nabi Muhammad (SAW), dan bekerja adalah sunah yang harus diikuti. Dengan demikian, para pengikut tasawuf diajarkan untuk aktif beribadah dan bekerja, karena meninggalkan kewajiban bekerja berarti menganiaya diri sendiri dan orang-orang yang ditanggung.
Ada dua syarat tawakal menurut Syekh Abu Qasim al-Qusyairi. Pertama, bersandar kepada Allah dalam segala keadaan tanpa bergantung pada selain-Nya. Ia menggambarkan orang yang tawakal seperti bayi yang hanya mengenal kasih sayang dan perhatian ibunya. Kedua, menaati perintah Allah, ikhlas dalam beribadah, dan menjauhi larangan-Nya. Tawakal bukan sekadar ucapan, tetapi harus dihayati sebagai pegangan hidup.
Syekh Abu Qasim al-Qusyairi menekankan bahwa sifat tawakal akan membawa ketenangan dalam hati. Keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi sesuai dengan kehendak Allah menghapuskan kekhawatiran dari hati. Beliau menyatakan bahwa barang siapa yang mengetahui bahwa Allah-lah yang memberikan rezeki, maka kesedihan akibat banyaknya tanggungan akan terasa lebih ringan.
Dengan demikian, tawakal dalam tasawuf adalah suatu sikap yang menggabungkan kepasrahan kepada Allah dengan usaha yang sungguh-sungguh, menciptakan keseimbangan antara spiritualitas dan aktivitas duniawi.