Imam Ibnu Malik menyatakan bahwa mempelajari ilmu tasawuf tanpa memahami ilmu fiqih (syariat) dapat mengarah pada potensi zindiq, sementara hanya mempelajari fiqih bisa berujung pada sifat fasiq. Sebaliknya, menguasai kedua ilmu tersebut menjadikan seseorang sebagai ahli hakikat yang sesungguhnya. Keduanya merupakan ilmu yang sangat penting dan strategis dalam menuntun manusia menuju jalan yang benar. Imam Malik menegaskan bahwa syariat dan tasawuf tidak dapat dipisahkan dalam menjalankan amaliah untuk mendekatkan diri kepada Allah (SWT).
Syariat dapat diibaratkan sebagai teori dalam beribadah, sedangkan tasawuf berfungsi sebagai pengendali dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Mempelajari ilmu Allah bertujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan ilmu-ilmu tersebut berfungsi sebagai manifestasi untuk menyempurnakan ibadah seorang hamba. Contoh nyata dari penghambaan dan peningkatan spiritualitas dapat dilihat dalam praktik shalat, zakat, ibadah haji, dan puasa, yang semuanya merupakan bentuk pengendalian diri dari hawa nafsu yang tercela.
Ilmu syariat membahas aspek lahiriah dari ibadah, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, serta larangan-larangan Allah. Sementara itu, ilmu tasawuf lebih fokus pada aspek batiniah, yaitu pembersihan hati dari sifat-sifat tercela. Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari menjelaskan bahwa syariat adalah perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, sedangkan tasawuf adalah ilmu yang bertujuan untuk memperbaiki hati dan menyendirikannya hanya untuk Allah (SWT).
Kedua ilmu ini saling melengkapi; syariat mencerminkan pengalaman iman pada aspek lahiriah, sedangkan tasawuf mencerminkan pengalaman iman pada aspek batiniah. Imam Malik menegaskan bahwa hanya orang yang memahami dan memadukan kedua ilmu ini yang dapat dianggap sebagai ahli hakikat. Syekh Muhammad bin Muhammad bin Musthafa bin Utsman Abu Sa’id al-Hanafi juga menekankan pentingnya kedua ilmu ini, di mana syariat membahas aspek lahiriah dan tasawuf membahas aspek batiniah dari ibadah.
Syekh Ahmad bin Muhammad Ibnu Ajibah al-Husaini menambahkan bahwa fiqih (syariat) bersifat umum, sedangkan tasawuf adalah ilmu yang khusus, berfokus pada interaksi antara hamba dan Tuhan. Keduanya harus dipahami secara bersamaan agar ibadah yang dilakukan tidak hanya sah secara syariat, tetapi juga diterima oleh Allah (SWT).
Dalam Al-Qur’an, Allah (SWT) berfirman: “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS Al-Fatihah: 5). Ayat ini mengandung dua makna; syariat sebagai perwujudan ibadah yang nyata dan tasawuf yang menekankan ketergantungan seorang hamba kepada Allah (SWT) dalam segala ibadah yang dilakukan.
Kesimpulannya, penerapan syariat dan tasawuf secara bersamaan sangat penting. Melaksanakan ibadah yang diwajibkan dan menjauhi maksiat merupakan representasi dari ilmu syariat, sedangkan pembersihan hati dari sifat tercela hanya dapat dilakukan melalui ilmu tasawuf. Dengan memahami dan memadukan kedua ilmu ini, seorang hamba dapat menjalankan ibadah dengan benar dan diterima oleh Allah (SWT).