Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa nikmat memiliki keutamaan yang lebih besar dibandingkan musibah bagi umat Islam. Banyak dalil menunjukkan keutamaan bersabar, namun hal ini bukan berarti kita harus meminta musibah. Sebaliknya, nikmat adalah hal yang lebih utama. Nabi Muhammad (SAW) dan para nabi sebelumnya selalu memohon kebaikan untuk dunia dan akhirat. Dalam sebuah hadits, Rasulullah (SAW) memohon perlindungan dari bala dunia dan akhirat, serta berdoa, “Tuhan kami, berikan kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan An-Nasai). Mereka juga berlindung dari caci maki musuh dan keburukan lainnya.
Imam Al-Ghazali menyampaikan riwayat dari Sayyidina Ali yang pernah berdoa meminta kesabaran. Namun, Rasulullah (SAW) mengoreksinya dan menyarankan agar meminta afiat. Ini menunjukkan bahwa seharusnya kita meminta kesehatan dan keselamatan dari Allah. Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq (RA) juga meriwayatkan bahwa Rasulullah (SAW) memerintahkan untuk meminta kesehatan kepada Allah, karena tidak ada pemberian yang lebih besar daripada kesehatan, kecuali keyakinan.
Kesehatan batin dari penyakit hati seperti kebodohan dan keraguan adalah penting. Imam Al-Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa kebaikan yang sempurna adalah kesehatan yang disertai dengan rasa syukur. Banyak orang yang dianugerahi nikmat tetapi tidak mensyukurinya. Mutharrif bin Abdullah juga menyatakan bahwa ia lebih menyukai kesehatan dan rasa syukur daripada musibah yang harus disikapi dengan sabar.
Rasulullah (SAW) dalam doanya juga mengungkapkan bahwa nikmat sehat dari Allah adalah sesuatu yang lebih diinginkannya. Dari berbagai riwayat tersebut, Imam Al-Ghazali menyimpulkan bahwa syukur atas nikmat lebih utama daripada sabar atas musibah. Jika diberikan pilihan, kita tentu akan memilih untuk berada dalam kondisi nikmat, sebagaimana doa para nabi. Namun, ketika kita mengalami musibah, kita tetap harus bersabar dan ridha. Wallahu a’lam.