Kemerdekaan secara umum diartikan sebagai keadaan bebas, lepas, dan tidak terjajah. Namun, dalam pandangan agama, khususnya dalam Al-Qur’an, semua makhluk di langit dan bumi adalah hamba (‘abdun) yang tidak dapat dikatakan merdeka. Dalam QS Maryam: 93, Allah berfirman bahwa tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang tidak akan datang kepada-Nya sebagai hamba. Penafsiran ini menunjukkan bahwa kemerdekaan dalam konteks ibadah tidak ada, karena setiap makhluk terikat dengan aturan-Nya dan tunduk pada-Nya.
Beberapa ulama, seperti Imam Abul Fida Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi dan Syekh Muhammad bin Jarir Abu Ja’far ath-Thabari, menegaskan bahwa QS Maryam: 93 lebih menekankan pada kondisi manusia di akhirat, di mana semua makhluk akan mengakui status kehambaannya. Sementara itu, Syekh Nawawi Banten berpendapat bahwa semua makhluk di bumi dan langit tetap dalam status dimiliki (mamlûk) dan wajib taat kepada Allah (SWT).
Dalam konteks fiqih, kemerdekaan manusia dapat dibagi menjadi dua makna: kebebasan eksternal dari paksaan dan kebebasan internal untuk mengambil keputusan tanpa terikat oleh kehendak orang lain. Namun, dalam dimensi ibadah, manusia tetap terikat oleh aturan Allah, yang menunjukkan bahwa kebebasan sejati tidak terdapat dalam hal ini.
Definisi merdeka dalam al-Mausû’atul Fiqhiyyah mengacu pada kebebasan dari perbudakan dan pemilikan. Dari berbagai penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa kemerdekaan memiliki dua aspek: (1) dalam hal ibadah, di mana manusia tidak memiliki kebebasan, dan (2) dalam hal kemanusiaan, di mana manusia dapat memiliki kebebasan untuk bertindak.
Dalam tasawuf, kemerdekaan tidak hanya berkaitan dengan status hukum, tetapi lebih pada sikap menerima apa yang Allah berikan. Sebuah syair menyatakan bahwa hamba menjadi merdeka jika merasa cukup, sementara orang merdeka menjadi budak jika tidak merasa puas. Oleh karena itu, kemerdekaan sejati adalah ketika seseorang merasa cukup dengan apa yang dimilikinya dan tidak terjebak dalam ambisi untuk memiliki lebih.
Rasulullah (SAW) menjelaskan bahwa kekayaan sejati bukanlah tentang banyaknya harta, tetapi tentang kekayaan jiwa. Dalam Al-Qur’an, Allah juga mengingatkan bahwa ujian dan kesabaran adalah bagian dari kehidupan yang harus diterima. Kabar gembira diberikan kepada orang-orang yang sabar dalam menghadapi ujian.
Secara keseluruhan, kemerdekaan dan kebebasan tidak hanya diukur dari materi atau harta, tetapi dari kemampuan untuk menerima dan merasa cukup dengan apa yang telah diberikan. Dengan demikian, seseorang yang dapat menerima dan tidak terikat pada ambisi untuk memiliki hak orang lain adalah orang yang benar-benar merdeka. Wallâhu a’lam bisshawâb.