- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Menjunjung Persatuan di Tengah Perbedaan

Google Search Widget

Al-Qur’an menggunakan bentuk tafa’ala dalam redaksi lita’arafuu yang bermakna saling mengenal. Fungsinya adalah untuk kerja sama antara dua orang atau lebih. Interaksi kita tidak hanya untuk mengenal orang lain, tetapi mereka pun harus mengenal kita. Interaksi dua belah pihak ini akan melahirkan simpati dan empati. Jika kita meminta orang lain untuk memahami kita, maka pihak lain pun mengharapkan hal yang sama. Langkah awalnya sesuai dengan pesan Al-Qur’an: saling mengenal. Para leluhur kita telah mencetuskan bahwa meskipun berbeda-beda, kita tetap satu (bhinneka tunggal ika). Semboyan ini dapat ditemukan dalam Kitab Sutasoma karya Empu Tantular yang ditulis pada abad ke-14 di era Kerajaan Majapahit.

Perbedaan sudut pandang dalam menafsirkan nash, yaitu Al-Qur’an dan Hadits, sering kali menimbulkan perdebatan khilafiyah di antara umat Islam. Perbedaan ini juga sangat terkait dengan rujukan Imam Mazhab empat, terutama dalam fiqih dan ubudiyah. Perdebatan khilafiyah di antara para ulama Indonesia telah berlangsung sejak zaman penjajahan. Di satu sisi, berdebat tentang khilafiyah di tengah kondisi bangsa yang terjajah memang ironis, namun di sisi lain, dinamika ini dapat memberikan kesempatan bagi para ulama dan tokoh agama untuk berkumpul dan menemukan problem-problem rakyat Indonesia.

KH Abdul Wahab Chasbullah (Kiai Wahab) adalah salah satu ulama yang teguh berpegang pada mazhab. Dalam konteks gerakan pembaharuan, Kiai Wahab tidak bisa menghindar dari serangan kelompok modernis, baik yang ada di Syarikat Islam (SI) maupun dari KH Mas Mansur yang lebih cenderung ke kelompok modernis anti-mazhab. Kecenderungan ini membuat Kiai Wahab dan Mas Mansur berpisah pada tahun 1922 setelah sebelumnya bersama-sama mendirikan perguruan Nahdlatul Wathan. Ketegangan antara faksi mazhab dan anti-mazhab membuat Kiai Wahab gelisah, sehingga ia mengusulkan untuk mendirikan organisasi perkumpulan ulama kepada KH Muhammad Hasyim Asy’ari (Kiai Hasyim), guru sekaligus saudara sepupu Kiai Wahab.

Kiai Hasyim melihat bahwa berbagai masalah yang menjadi bahan perdebatan antara kelompok tradisionalis dan modernis belum menyentuh akidah atau prinsip agama. Ia percaya bahwa perkumpulan para tokoh ulama dalam forum perdebatan soal khilafiyah dapat membuat kaum penjajah gentar dan mempercepat proses kebangkitan nasionalisme bangsa yang sedang terjajah. Kiai Hasyim berpendapat bahwa perdebatan soal khilafiyah tidak perlu dihentikan.

Namun, berkobarnya api perdebatan antara ulama bermazhab dan tokoh modernis anti-mazhab sangat disayangkan, terutama ketika Kiai Wahab berhadapan dengan Soorkati dari Al-Irsyad dan Achmad Dachlan dari Muhammadiyah pada tahun 1921. Meskipun perdebatan tersebut melemahkan, kehadiran beberapa ulama terkemuka justru memunculkan percikan kebenaran Islam yang menjadi senjata ampuh melawan penjajah. Dengan demikian, perdebatan soal khilafiyah pada masa itu masih mengandung manfaat, terutama dalam menumbuhkan semangat cinta tanah air di tengah penjajahan.

Sejarah mengajarkan bahwa perbedaan adalah rahmat. Para pendahulu tidak melihat perbedaan sebagai pertentangan, tetapi sebagai pemicu perjuangan kemerdekaan. Forum-forum perdebatan tersebut membuat kaum penjajah merasa terganggu, karena para ulama pesantren berupaya menanamkan sikap cinta tanah air. Dari peristiwa berharga ini, bangsa Indonesia dapat mengambil pelajaran bahwa setiap perbedaan yang muncul dari berbagai kelompok memiliki tujuan utama yang harus dicapai. Oleh karena itu, setiap forum pertemuan, diskusi, bahkan perdebatan harus memiliki tujuan dan manfaat bagi masyarakat. Kiai Hasyim Asy’ari selalu mampu melihat dengan jernih setiap persoalan, sehingga tidak melarang forum-forum perdebatan khilafiyah Kiai Wahab dengan kaum anti-mazhab pada saat itu.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 21

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?