Kajian tasawuf sering kali membahas tentang rahmat dan ampunan Allah, terutama dalam konteks “Bab Raja” atau “Bab Harapan.” Rahmat dan ampunan-Nya bagi hamba yang berdosa digambarkan dengan luas dan tanpa batas. Banyak dalil dan riwayat yang mendukung deskripsi ini, menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Namun, meskipun rahmat dan ampunan-Nya sangat besar, pintu harapan tidak dibuka untuk semua orang. Pintu tersebut lebih khusus ditujukan bagi mereka yang memiliki uzur seperti orang tua atau mereka yang tidak sehat, serta bagi mereka yang merasa ketakutan akan masa depan di alam kubur dan akhirat.
Sayangnya, rahmat dan ampunan Allah ini sering disalahpahami atau disalahgunakan oleh sebagian orang, terutama mereka yang baru mempelajari tasawuf atau yang tidak memiliki uzur, seperti orang yang sehat dan muda. Mereka cenderung melalaikan amal saleh dan lebih mudah melanggar larangan Allah dengan dalih mengandalkan rahmat dan ampunan-Nya. Imam Al-Ghazali menyebut mereka sebagai orang-orang dungu yang terpedaya (al-hamqa al-maghrurun). Dalam kitabnya, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ada sebab-sebab yang dapat mendatangkan harapan bagi mereka yang takut dan putus asa, sementara orang-orang yang terpedaya tidak seharusnya mendengarkan hal-hal tersebut. Mereka seharusnya lebih mendengarkan tentang sebab-sebab ketakutan, karena banyak orang tidak layak mendapatkan rahmat dan ampunan kecuali dalam ketakutan, seperti budak yang harus dipaksa untuk bekerja.
Imam Al-Ghazali tidak bermaksud membatasi keluasan rahmat dan ampunan Allah. Ia menekankan bahwa harapan (raja), ketakutan (khauf), dan cinta (mahabbah) kepada Allah harus seimbang dan proporsional. Jika salah dalam menempatkan proporsi ini, maka bisa berakibat fatal. Dalam konteks ini, Makhul Ad-Dimasyqi menyatakan bahwa cara menyembah Allah dengan ketakutan, harapan, atau cinta memiliki konsekuensi yang berbeda. Siapa yang menyembah dengan ketakutan menjadi pengikut Haruri, yang dengan harapan menjadi murji’ah, dan yang dengan cinta menjadi zindiq. Namun, mereka yang menyembah dengan ketiga unsur tersebut akan menjadi ahli tauhid.
Oleh karena itu, setiap Muslim perlu menggabungkan harapan, ketakutan, dan cinta kepada Allah, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi masing-masing individu. Mereka yang jauh dari kematian sebaiknya memperbanyak ketakutan untuk mendorong amal saleh, sedangkan mereka yang dekat dengan kematian atau uzur sebaiknya memperbanyak harapan dan berbaik sangka kepada Allah. Dalam hal ini, penting untuk mempertimbangkan ilmu, sunnah, dan kebiasaan dalam mengamalkan ketiga aspek tersebut agar menjadi seorang yang alim dan arif, baik lahir maupun batin.