Al-Qusyairi membahas konsep iradah dan murid dalam perspektif tasawuf, yang dijelaskan dalam satu bab khusus. Secara etimologis, iradah berarti keinginan, sedangkan murid adalah individu yang memiliki keinginan tertentu. Dalam konteks ini, iradah diartikan sebagai keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah (SWT) atau merindukan-Nya. Al-Qusyairi mengutip Surat Al-An’am ayat 52, yang menggambarkan orang-orang yang beribadah dengan tulus, hanya mengharapkan ridha Allah.
Allah (SWT) juga memiliki iradah, yang berarti bahwa Dia menginginkan kebaikan bagi hamba-hamba-Nya tertentu. Kebaikan ini diwujudkan melalui taufik dan hidayah yang diberikan kepada mereka. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad (SAW) menyatakan bahwa jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, Dia akan memberinya taufik untuk melakukan amal saleh sebelum kematiannya.
Dalam konteks tasawuf, murid dipahami sebagai seseorang yang telah mampu menanggalkan keinginannya. Seseorang yang belum dapat memadamkan keinginan belum dapat disebut sebagai murid. Banyak diskusi mengenai arti iradah, di mana setiap orang membawa pengertian dan konsepnya masing-masing. Namun, mayoritas guru-guru tasawuf sepakat bahwa iradah berarti meninggalkan kebiasaan atau adat yang tidak bermanfaat. Kebiasaan ini sering kali mengarah pada kelalaian dan kepuasan dalam mengikuti syahwat, sementara murid berusaha untuk lepas dari semua kebiasaan tersebut.
Keluar dari kebiasaan adalah tanda nyata dari iradah yang sejati. Al-Qusyairi juga menjelaskan hakikat iradah sebagai kebangkitan semangat dalam mengejar Allah (SWT). Iradah diartikan sebagai kepedihan hati yang mendalam yang muncul dari kerinduan kepada Allah, yang dapat mengalahkan segala ketakutan.
Dengan demikian, iradah bukan hanya sekadar keinginan, tetapi juga merupakan perjalanan spiritual yang mendalam dalam pencarian akan kebenaran dan kedekatan dengan Sang Pencipta. Wallahu a’lam.