Semakin tinggi akhlak seseorang, semakin kokoh pula kebahagiaannya. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat; ketika anggotanya bersatu dalam melaksanakan nilai-nilai akhlak yang disepakati, maka kebahagiaan masyarakat tersebut akan meningkat. Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul “Yang Hilang dari Kita: Akhlak” (2017) menjelaskan konsep akhlak dari sudut pandang filosofis, mengutip berbagai pandangan etika dari para filsuf Yunani dan Barat, serta memperkuatnya dengan referensi dari Al-Qur’an, Hadits, dan karya-karya klasik para ulama.
Secara historis, para filsuf Yunani kuno sangat menghargai etika dan kemanusiaan, selalu mencari ruang bagi akhlak, etika, dan kemanusiaan dalam kehidupan manusia. Nurani memiliki hubungan erat dengan perkembangan akhlak yang luhur. Ia berfungsi sebagai pelita yang menerangi hati dan perasaan manusia, membantu mereka terhindar dari hal-hal negatif. Meskipun hati nurani tidak selalu dapat didefinisikan secara teoritis, setiap individu dapat merasakannya dan tidak mudah untuk mengabaikannya.
Akhlak juga berkaitan dengan konsep kebaikan dan keburukan. Keburukan atau kejahatan merupakan lawan dari kebaikan dan mencakup dua aspek utama: sakit atau perih, baik jasmani maupun rohani, dan hal-hal yang menyebabkan sakit tersebut, seperti kebodohan dan kedurhakaan. Keburukan dan kejahatan dapat berasal dari pihak lain atau akibat tindakan kita sendiri. Muhammad Quraish Shihab (2017: 57) menyampaikan salah satu doa yang diajarkan oleh Rasulullah ketika hendak keluar rumah, yaitu: “Ya Allah, kami memohon perlindungan-Mu agar kami tidak sesat, tidak disesatkan, tidak tergelincir atau digelincirkan, tidak menganiaya atau dianiaya, serta tidak berbuat jahil dan tidak diperlakukan dengan jahil.” Doa ini mencerminkan potensi terjadinya keburukan dan kejahatan, baik dari tindakan orang lain maupun dari diri kita sendiri.
Dalam konteks keterbukaan informasi dan perkembangan teknologi saat ini, penting untuk menerapkan akhlak bertabayun, yaitu memverifikasi kebenaran informasi dan berita yang beredar, baik melalui media cetak, website, maupun media sosial. Allah SWT dalam QS Al-Hujurat [49] ayat 6 menekankan pentingnya tabayun: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal.” (QS Al-Hujurat: 6)
Tanpa upaya bertabayun, banyak individu di media sosial yang terjebak dalam berita palsu dan kebohongan. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebohongan dalam bentuk informasi semakin menjadi industri yang marak. Oleh karena itu, akhlak luhur harus selalu diutamakan. Di era digital ini, akhlak perlu dijunjung tinggi dalam setiap interaksi, termasuk dalam berkomunikasi di media sosial.