Ketegasan Imam Al-Ghazali dalam merespons kepemimpinan Islam di Andalusia mencerminkan kegelisahan seorang ulama terhadap umara-nya. Kritikan Imam Al-Ghazali merupakan bentuk perhatian dan kasih sayang kepada pemimpin demi kesejahteraan rakyat. Seorang pemimpin memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya, terutama dalam kondisi sulit akibat perang. Dalam kitab At-Tibbr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk atau Nasihat Bagi Penguasa, Al-Ghazali menjelaskan bahwa watak dan perilaku rakyat merupakan cerminan dari watak dan perilaku pemimpin. Menurutnya, keburukan yang dilakukan rakyat sering kali merupakan tiruan dari tindakan pemimpin mereka. Pemimpin di sini tidak hanya merujuk pada satu individu dalam pemerintahan, tetapi juga mencakup semua pemangku kebijakan di berbagai sektor.
Imam Al-Ghazali (1058-1111 M) sangat khawatir mendengar tentang kekalahan dan penderitaan kaum Muslimin di Andalusia. Ia menulis surat yang menggugah kepada Raja Maghribi, Yusuf Ibnu Tasyfin, yang berbunyi: “Pilihlah salah satu di antara dua, memanggul senjata untuk menyelamatkan saudaramu-saudaramu di Andalusia atau engkau turun tahta untuk diserahkan kepada orang lain yang sanggup memenuhi kewajiban tersebut.” Isi surat ini diungkapkan oleh B. Wiwoho dalam bukunya yang berjudul Bertasawuf di Zaman Edan: Hidup Bersih, Sederhana, dan Mengabdi (2006). Sikap tegas Al-Ghazali tidak terlepas dari konteks perjuangan Islam di Andalusia pada saat itu, di mana kelemahan kepemimpinan, konflik internal, dan kekuatan musuh yang semakin banyak menjadi penyebab jatuhnya kejayaan Islam di wilayah tersebut.
Yusuf Ibnu Tasyfin dikenal sebagai pendiri dan penguasa pertama Dinasti Murabithun di Maroko, Afrika Utara. Selama masa kepemimpinannya dari tahun 1061 hingga 1107 M, Ibn Tasyfin berhasil mengembalikan kejayaan Islam di Andalusia setelah sebelumnya terancam oleh kekuatan Eropa. Dia bergelar Amir al-Muslimin dan Nasiruddin. Untuk melegitimasi kekuasaannya, ia meminta pengakuan dari Khalifah Abu Abbas di Baghdad, Irak, sebelum melakukan konsolidasi internal. Ini termasuk perbaikan struktur administrasi, penyatuan kekuatan suku, dan pembentukan militer yang tangguh.
Namun, tantangan besar tetap ada. Saat Dinasti Murabithun berkuasa di bawah Ibn Tasyfin, kerajaan Islam di Andalusia berada di ambang kehancuran akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antar-muluk at-tawa’if. Ancaman dari kekuatan Kristen juga semakin mendekat. Setelah Ibn Tasyfin meninggal pada tahun 1107, putranya, Ali bin Yusuf (1107-1143), menggantikannya, tetapi popularitas dan kekuatan Dinasti Murabithun mulai menurun. Pada masa pemerintahan Ishaq bin Ali (1146-1147), dinasti ini akhirnya hancur dan digantikan oleh Dinasti Muwahidun.
Imam Al-Ghazali merupakan salah satu ulama terkemuka pada masa kejayaan Islam di Andalusia, di mana banyak ilmuwan Muslim, seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Rusyd, Ibnu Arabi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina, lahir dari peradaban yang maju. Kejayaan Islam di Andalusia tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Berbagai disiplin ilmu dan teori yang ditemukan oleh para ilmuwan Muslim menjadi pintu masuk bagi perkembangan Islam di Barat, khususnya Eropa. Namun, kepemimpinan yang lemah sering kali menjadi faktor penyebab runtuhnya masa kejayaan tersebut. Meskipun demikian, warisan ilmu pengetahuan dari para ilmuwan Muslim tetap diakui, meskipun saat ini banyak orang lebih mengenal teori-teori yang berasal dari ilmuwan Barat.