Cinta adalah tema yang tak pernah habis untuk dibahas, mulai dari zaman Nabi Adam (AS) hingga hari kiamat. Setiap generasi memiliki pandangan dan pengalaman unik tentang cinta. Dalam Islam, cinta diatur dengan jelas, termasuk cara mencintai dan siapa yang berhak dicintai. Istilah “Islam sebagai agama cinta” sering terdengar, menunjukkan betapa pentingnya cinta dalam kehidupan umat Muslim. Cinta dapat menjadi sumber kekuatan dan penemuan jati diri, tetapi juga dapat mengarah pada tindakan yang tidak manusiawi jika tidak dipahami dengan benar.
Hujjatul Islâm Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dalam kitabnya yang monumental, Ihyâ’ Ulûmiddîn, menguraikan bab khusus tentang cinta (mahabbah). Ia menjelaskan dalil-dalil cinta, hakikat, sebab, dan siapa yang berhak mendapatkan cinta. Dalam Al-Qur’an, banyak ayat yang membahas cinta, dan hadits Nabi Muhammad (SAW) menegaskan bahwa keimanan yang sempurna dilandasi oleh cinta. Allah berfirman dalam Al-Baqarah: 165 bahwa orang-orang beriman memiliki cinta yang besar kepada-Nya. Hadits juga menyatakan bahwa iman berarti mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari segalanya.
Cinta menjadi penentu nilai seseorang di sisi Pencipta. Tanpa cinta, seseorang tidak memiliki nilai lebih. Imam Al-Ghazali mengutip kalam hikmah dari Syekh Sari As-Saqathi, yang menjelaskan bahwa di hari kiamat, umat akan dipanggil sesuai dengan nabi mereka, kecuali para pecinta Allah yang akan dipanggil sebagai “kekasih Allah”. Ini menunjukkan betapa pentingnya cinta dalam Islam.
Cinta, menurut Al-Ghazali, adalah ungkapan dari ketertarikan terhadap sesuatu yang dianggap lezat. Ia membagi cinta menjadi lima kategori: cinta kepada diri sendiri, cinta kepada orang-orang yang berbuat baik, cinta kepada orang-orang yang berbuat baik kepada orang lain, cinta kepada hal-hal materi, dan cinta yang terjalin antara individu yang saling mencintai. Setiap kategori ini menunjukkan bagaimana cinta dapat muncul dari berbagai sebab.
Namun, cinta harus diberikan kepada pihak yang berhak. Menurut Al-Ghazali, satu-satunya yang berhak dicinta adalah Allah Ta’ala. Jika seseorang mencintai selain Allah, itu menunjukkan kurangnya pengetahuan tentang-Nya. Mencintai Allah juga berarti mencintai Rasulullah (SAW), ulama, orang-orang bertakwa, dan para kekasih Allah. Sebab, apa yang dicintai oleh kekasih Allah juga layak dicintai.
Dengan demikian, hakikat cinta dalam Islam menuntut pemahaman yang mendalam tentang siapa yang layak dicinta. Hanya Allah yang memenuhi semua kategori cinta, sedangkan yang lain mungkin hanya memiliki sebagian. Cinta yang sejati adalah cinta yang mengarah kepada Allah, dan itu adalah tujuan utama setiap hamba.