Imam Al-Ghazali mengungkapkan berbagai dialog dan metode yang diterapkan oleh para ulama untuk melatih diri dalam bersyukur atas nikmat Allah. Beliau merumuskan cara-cara yang dapat diambil untuk mendidik manusia yang sering kali lalai dalam mensyukuri karunia-Nya. Metode yang disampaikan Imam Al-Ghazali disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi setiap individu yang berbeda-beda.
Imam Al-Ghazali membedakan orang yang lalai bersyukur menjadi dua kategori. Pertama, orang yang memiliki hati yang awas (al-qulubul bashirah). Kedua, orang yang batinnya buta dan keras (al-qulubul balidah al-jamidah). Beliau menyatakan bahwa obat bagi hati yang awas adalah dengan merenungkan berbagai nikmat Allah yang bersifat umum, sedangkan bagi hati yang tumpul dan keras, solusinya adalah dengan selalu memperhatikan orang yang berada di bawah mereka dalam urusan dunia. Hal ini bertujuan agar mereka dapat menyadari dan bersyukur atas kondisi yang mereka miliki saat ini.
Imam Al-Ghazali juga mengingatkan akan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, di mana Rasulullah (SAW) bersabda agar umat Islam melihat ke bawah sebagai pengingat untuk senantiasa bersyukur kepada Allah. Dalam konteks ini, beliau menyarankan dua langkah: pertama, bagi mereka yang memiliki hati yang terang tetapi lalai bersyukur, perlu melatih diri untuk menyadari nikmat-nikmat keseharian yang bersifat umum. Kedua, bagi mereka yang hatinya tumpul dan beku, perlu mendidik diri untuk melihat ke bawah dalam urusan duniawi agar dapat lebih menghargai keadaan mereka.
Para sufi juga menerapkan sejumlah cara untuk mengingatkan diri agar dapat mensyukuri kesempatan hidup, kesehatan, dan nikmat petunjuk dalam ketaatan kepada Allah. Sebagian dari mereka sering mengunjungi orang-orang yang sakit untuk menyadari nikmat kesehatan yang mereka miliki. Selain itu, mereka juga mengunjungi tempat-tempat eksekusi untuk menyadari bimbingan Allah yang telah menghindarkan mereka dari tindakan kriminal. Beberapa sufi bahkan melakukan simulasi kematian dengan menggali lubang seolah-olah makam, yang bertujuan untuk menghayati kematian dan menyadari nikmat kesempatan hidup yang diberikan Allah.
Semua metode ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan nikmat yang ada, agar seseorang dapat berbuat baik dan meningkatkan intensitas ibadah kepada Allah sebagai bentuk penghambaan kepada-Nya. Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya mengenali nikmat Allah, dan menggambarkan orang yang tidak mengenali nikmat-Nya sebagai budak yang buruk, yang hanya dapat dipahami jika ia mengalami kesulitan.
Dengan demikian, pendidikan diri untuk bersyukur adalah langkah penting dalam menjalani kehidupan yang penuh makna dan beribadah kepada Allah dengan sebaik-baiknya.