- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kedudukan Manusia di Hadapan Allah

Google Search Widget

Umar Ibnul Khattab pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab mengenai makna takwa. Ubay menjawab dengan pertanyaan, “Bagaimana jika engkau melewati jalan yang penuh anak dan duri?” Umar menjawab, “Tentu aku bersiap-siap dan hati-hati.” Itulah esensi dari takwa. Sebagai manusia, kita memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah, namun dalam perjalanan hidup, kedudukan ini bisa berubah. Ada yang mendapatkan kemuliaan dan ada yang mendapatkan hinaan dari Allah (SWT). Apa yang membedakan keduanya? Semua manusia berasal dari Nabi Allah Adam dan ibunda Hawa, dan Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat al-Hujurat ayat 13, yang menyatakan bahwa perbedaan status di sisi Allah ditentukan oleh tingkat ketaatan mereka kepada-Nya.

Al-Hafizh Ibnu Katsir menegaskan bahwa perbedaan di sisi Allah disebabkan oleh takwa, bukan oleh jumlah atau status sosial. Rasulullah (SAW) bersabda bahwa tidak ada keutamaan seseorang atas yang lain kecuali melalui agama atau amal shalih. Dalam perkembangan zaman, jumlah manusia semakin meningkat, begitu pula dengan keberagaman bangsa dan suku. Muncul beragam bahasa, budaya, dan teknologi, namun semua itu seharusnya hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani kita.

Namun, seringkali manusia terjebak dalam kesombongan. Negara yang maju merasa lebih baik, orang kaya merasa lebih superior dibandingkan yang miskin, dan mereka yang memiliki jabatan tinggi merasa berhak memaksakan kehendak mereka. Hal ini menyebabkan banyak orang melanggar perintah Allah dan mengabaikan syariat-Nya. Padahal, dari sinilah manusia diuji untuk menjadi hamba yang taat atau maksiat, yang pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawaban.

Minimnya pengetahuan tentang syariat menyebabkan banyak orang terjerumus ke dalam dosa tanpa menyadarinya, bahkan merasa bangga dengan perbuatan tersebut. Abdullah Ibnul Mubarak mengungkapkan bahwa perbuatan dosa dapat mematikan hati, sedangkan meninggalkan dosa menghidupkan hati. Oleh karena itu, prestasi yang harus kita ukir adalah prestasi yang baik dan mulia, yaitu sejauh mana kita menyikapi ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Imam al-Hasan al-Bashri memberikan wasiat bahwa setiap hari yang berlalu berarti hilangnya sebagian dari diri kita. Sudah berapa banyak waktu yang kita sia-siakan? Sudah berapa banyak amal taat yang kita kumpulkan sebagai investasi di sisi Allah? Kita harus introspeksi diri, apakah kita termasuk golongan yang zalim kepada diri sendiri, muqtashid, atau sabiqun bil khairat?

Dalam tafsirnya, al-Hafizh Ibnu Katsir menjelaskan bahwa zhalimun linafsihi adalah orang yang enggan mengerjakan kewajiban, muqtashid adalah orang yang menunaikan kewajiban dan menghindari yang haram, sementara sabiqun bil khairat adalah orang yang melaksanakan kewajiban dan sunnah serta meninggalkan yang haram. Tidak ada yang ingin terjebak dalam penjara, terutama penjara Allah yang berupa siksa api Neraka. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mematuhi syariat Allah agar tidak terjerumus ke dalamnya.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?