Fenomena hijrah belakangan ini semakin marak di berbagai kalangan, termasuk artis, kaum muda, dan profesional. Banyak individu, baik dari dalam maupun luar umat Islam, yang mendapatkan hidayah dan memutuskan untuk bersyahadat: “asyhadu allâ ilâha illallâh wa asyhadu anna Muhammad (SAW) rasûlullâh.” Meskipun hal ini membawa kebahagiaan tersendiri, tantangan muncul, terutama bagi para muallaf, dalam menjalin hubungan dengan orang tua yang masih berlainan keyakinan.
Islam memberikan pedoman kepada pemeluknya untuk tetap menjaga hubungan baik dengan orang tua, meskipun berbeda agama. Kisah para sahabat menjadi teladan. Salah satunya adalah Handhalah radhiyallâhu ‘anhu, yang memilih masuk Islam meskipun ayahnya, Abu Amir bin Shaifi Ar-Rahib, menjadi musuh Rasulullah (SAW) dan bergabung dengan suku Quraisy untuk memerangi umat Islam. Handhalah radhiyallâhu ‘anhu meminta izin kepada Rasulullah (SAW) untuk membunuh ayahnya, tetapi dilarang. Begitu juga dengan Abdullah bin Abdullah bin Ubay radhiyallâhu ‘anhu yang ingin membunuh ayahnya, Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin kaum munafikin, namun juga dilarang oleh Rasulullah (SAW) dan diperintahkan untuk berperilaku baik kepadanya.
Contoh lain adalah Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallâhu ‘anhu, yang merupakan salah satu sahabat pertama yang masuk Islam. Setelah mengikrarkan keislamannya di usia 19 tahun, ibunya tidak terima dan berusaha menggoyahkan keimanannya dengan mogok makan, minum, dan berbicara. Namun, setelah tiga hari, ia menyerah. Dalam situasi ini, turunlah tiga ayat yang memerintahkan Sa’ad untuk tetap berbakti kepada ibunya.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ankabût ayat 8: “Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya.” Selain itu, dalam Surah Luqman ayat 14-15, Allah SWT memerintahkan untuk berbuat baik kepada orang tua dan tetap menjaga hubungan baik meskipun mereka berbeda agama.
Secara substansial, ayat-ayat ini menegaskan bahwa seorang Muslim yang memiliki orang tua yang berlainan agama wajib untuk berbakti kepada mereka. Ini tercermin dalam frasa “وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا” yang berarti “pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” Kewajiban berbakti ini mencakup melayani orang tua sebaik mungkin, tidak meninggikan suara, tidak berkata kasar, memenuhi kebutuhan mereka, dan tidak mencelakakan mereka, selama tidak mengajak kepada kemaksiatan dan kekufuran.
Dengan demikian, menjaga hubungan baik dengan orang tua yang berbeda agama adalah tuntutan yang jelas dalam Islam, yang harus dipatuhi oleh setiap Muslim. Wallâhu a’lam.