Imam As-Syafi’i mengingatkan kita tentang bahaya yang mengancam masyarakat ketika mereka menjadikan ulama yang fasik dan orang bodoh yang saleh sebagai panutan. Dalam pandangannya, kedua sosok ini tidak akan mampu membimbing masyarakat menuju kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat. Imam As-Syafi’i menganggap ulama yang fasik dan orang bodoh yang saleh sebagai musibah bagi masyarakat.
Lebih lanjut, Imam As-Syafi’i menyatakan bahwa orang bodoh yang saleh dapat menjadi ancaman yang lebih besar dibandingkan ulama yang fasik. Ia mengungkapkan keprihatinannya melalui syair yang menggambarkan kerusakan yang ditimbulkan oleh kedua sosok ini. Masyarakat cenderung meniru ulama yang mereka anggap sebagai panutan. Jika mereka mendapatkan ulama yang baik, maka masyarakat akan beruntung. Namun, jika mereka mengikuti ulama yang fasik, kerugian pun akan menghampiri mereka.
Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad menambahkan bahwa orang-orang bodoh yang dijadikan panutan sering kali tidak mengetahui apakah tindakan mereka termasuk ketaatan atau kesesatan. Mereka beroperasi dalam kegelapan dan tidak menyadari perbedaan antara perbuatan yang diperintahkan Allah dan yang dilarang-Nya. Oleh karena itu, seseorang hanya bisa keluar dari kegelapan kebodohan dengan menerangi dirinya dengan ilmu.
Lebih jauh, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menyatakan bahwa orang yang beribadah dalam keadaan bodoh sering kali lebih banyak menimbulkan kerusakan daripada kebaikan. Dengan demikian, menjadi pertanyaan mengapa masyarakat masih menjadikan orang-orang bodoh sebagai ustadz atau panutan. Padahal, agama memiliki panduan yang jelas yang dijaga oleh para ulama yang berilmu dan berakhlak.
Imam As-Syafi’i menekankan bahwa panutan dalam beragama haruslah memiliki ilmu dan akhlak yang baik. Ilmu semata tidak cukup, demikian pula kesalehan yang hanya terlihat dari penampilan atau ucapan. Kesadaran akan pentingnya memilih panutan yang tepat sangatlah krusial untuk menjaga kemaslahatan masyarakat.