Imam Al-Ghazali menjelaskan konsep cinta tanpa pamrih sebagai cinta hakiki. Menurut beliau, cinta hakiki adalah perasaan seseorang terhadap sesuatu tanpa adanya kepentingan atau pamrih di baliknya. Dalam pandangannya, ‘kepentingan’ itu sendiri adalah objek yang dicintai. Cinta hakiki dipercaya sebagai cinta yang abadi, terutama ketika seseorang mencintai keindahan dan kebaikan, karena setiap keindahan memiliki daya tarik tersendiri bagi mereka yang merasakannya.
Kecintaan terhadap keindahan muncul semata-mata karena keindahan itu sendiri. Kenikmatan yang dirasakan dari keindahan merupakan pengalaman yang berharga, terlepas dari faktor lain. Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa cinta terhadap bentuk-bentuk yang indah tidak hanya terbatas pada pemenuhan syahwat, meskipun pemenuhan syahwat juga merupakan kenikmatan tersendiri. Namun, cinta sejati terhadap keindahan dapat muncul tanpa adanya motif lain.
Contoh cinta hakiki dapat ditemukan dalam kecintaan terhadap ladang hijau dan air yang mengalir. Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu itu disukai hanya untuk dipandang, bukan untuk dikonsumsi. Rasulullah (SAW) juga dikenal mencintai keindahan alam, seperti ladang hijau dan gemericik air. Menurut Imam Al-Ghazali, akal sehat mendorong kita untuk menikmati keindahan cahaya, tumbuh-tumbuhan, dan burung-burung berwarna-warni. Dengan memandang keindahan tersebut, seseorang bisa terbebas dari kebimbangan dan kesumpekan pikiran, tanpa adanya pamrih di baliknya.
Imam Al-Ghazali berargumen bahwa segala kenikmatan yang ada disukai oleh manusia, termasuk kebaikan dan keindahan, yang dirasakan sebagai kelezatan. Tiada seorang pun yang dapat mengingkari bahwa keindahan itu disukai secara alami. Jika kita merujuk pada riwayat bahwa Allah adalah zat yang indah, maka Dia tentu dicintai oleh mereka yang mampu mengakses keindahan dan keagungan-Nya. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits riwayat Imam Muslim dari sahabat Ibnu Mas’ud, “Innallāha jamīlun, wa yuhibbul jamāla” yang berarti “Sungguh, Allah adalah yang indah dan Dia menyukai keindahan.”
Wallahu a’lam.