Sering kali kita mendengar pemisahan antara pelaksanaan syariat, tarekat, dan hakikat dalam tingkatan tertentu. Terdapat pandangan yang keliru di kalangan masyarakat awam yang menyatakan bahwa mereka yang telah mencapai maqam atau derajat hakikat terbebas dari ketentuan syariat. Seseorang yang telah menjadi wali, mencapai derajat makrifatullah, atau yang telah sampai pada Allah, dianggap tidak lagi terikat pada ibadah wajib atau larangan maksiat yang ditetapkan oleh syariat. Seolah-olah syariat dan hakikat merupakan dua hal yang terpisah.
Syekh Zainuddin bin Ali Al-Malibari menegaskan bahwa tarekat dan hakikat tidak dapat dicapai tanpa pengamalan syariat. Dalam Kitab Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, Sayyid Bakri menjelaskan bahwa umat Islam tidak boleh terpengaruh oleh pandangan yang menganjurkan untuk meninggalkan syariat bagi mereka yang telah mencapai derajat hakikat. Ia menyatakan bahwa tarekat dan hakikat bergantung pada pengamalan syariat. Keduanya tidak akan tegak dan tidak akan menghasilkan apa-apa tanpa syariat. Meskipun seseorang telah mencapai derajat yang sangat tinggi dan termasuk dalam golongan wali Allah, kewajiban ibadah yang diamanahkan dalam Al-Qur’an dan sunnah tetap berlaku baginya.
Sayyid Bakri memberikan contoh ibadah tahajud yang dilakukan oleh Nabi Muhammad (SAW) pada suatu malam hingga kedua kakinya memar karena shalat malam yang dilakukannya. Ketika ditanya mengapa beliau melakukan hal itu, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosanya, Nabi Muhammad (SAW) menjawab, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” Ini menunjukkan bahwa pandangan yang mengutamakan hakikat tanpa pelaksanaan syariat adalah pemahaman yang keliru. Ketentuan syariat tidak pernah gugur, bahkan bagi para nabi sekalipun.
Sayyid Bakri juga menekankan bahwa pelaksanaan syariat tidak menunjukkan kerendahan martabat seseorang di hadapan Allah. Pengamalan syariat adalah bukti nyata dari kehambaan dan rasa syukur para kekasih Allah, baik itu para nabi maupun para wali. Kewajiban ibadah adalah untuk memenuhi hak kehambaan dan hak syukur atas nikmat yang diberikan Allah. Para wali, meskipun memiliki derajat kewalian, tetap berada dalam batas kehambaan dan tidak lepas dari nikmat yang diberikan oleh Allah.
Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa pengamalan syariat bukanlah ukuran dari derajat hakikat seseorang. Kita perlu menghargai orang-orang yang masih mengamalkan syariat dan mempelajari ilmu syariat melalui kajian fiqih, ushul fiqih, dan disiplin ilmu lainnya, tanpa merendahkan mereka. Hal ini penting agar kita tidak berburuk sangka terhadap mereka yang tetap menjalankan syariat. Wallahu a’lam.