Rahmat dan kemurahan Allah (SWT) tidak terbatas pada kesalehan manusia. Keduanya sangat luas dan tidak terikat pada hukum sebab akibat. Rahmat dan kemurahan-Nya dapat mengalir kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dalam sebuah karya, Syekh Ali bin Abdullah bin Ahmad Baras menyatakan bahwa seseorang seharusnya bersandar pada kemurahan Allah (SWT) dan tidak mengandalkan ilmu atau amalnya. Karunia Tuhan tidak terhalang oleh maksiat dan tidak pula bergantung pada tujuan tertentu.
Banyak orang beranggapan bahwa rahmat dan kemurahan Allah (SWT) hanya diberikan kepada orang-orang yang saleh. Pemikiran ini membuat banyak individu berusaha mengejar kesalehan lahiriah, menganggapnya sebagai syarat untuk mendapatkan rahmat Allah. Ketika terjebak dalam dosa, mereka menjadi pesimis dan kehilangan harapan. Sebaliknya, mereka yang mengandalkan amal ibadah untuk meraih rahmat Allah (SWT) cenderung merasa tinggi hati dan istimewa saat melakukan ibadah tersebut.
Menurut Ibnu Athaillah, salah satu tanda ketergantungan pada amal adalah berkurangnya harapan kepada Allah (SWT) ketika melakukan kesalahan. Orang yang bersandar kepada Allah (SWT), bukan kepada ilmu atau amalnya, tidak akan merasa sombong saat beribadah, dan tidak akan putus asa ketika berbuat dosa. Hal ini menjadi ciri khas bagi mereka yang sepenuhnya bergantung pada Allah (SWT).
Mereka yang bersandar kepada Allah (SWT) lebih menyaksikan keesaan perbuatan-Nya dalam menggerakkan hamba-hamba-Nya. Dengan demikian, mereka tidak merasa ujub saat beribadah dan tidak berputus asa dari rahmat-Nya ketika terjatuh dalam kekhilafan. Namun, keluasaan rahmat-Nya tidak menjadi alasan untuk bermalas-malasan atau berhenti beramal. Wallahu a’lam.