- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Menyelami Problematik Keberadaan Kejahatan dalam Pandangan Teologi

Google Search Widget

“Jika Allah (SWT) benar-benar ada, mengapa Ia menciptakan pembunuh, koruptor, dan pemerkosa?” Pertanyaan semacam ini sering kali muncul dari mereka yang meragukan eksistensi Tuhan. Dalam wacana penutur bahasa Inggris, pertanyaan ini dikenal sebagai the problem of evil. Permasalahan ini timbul dari tampaknya kontradiksi antara sifat Allah (SWT) yang Maha Sempurna, Maha Pengasih, dan Maha Kuasa dengan kenyataan adanya kejahatan yang merajalela. Bagaimana mungkin Tuhan yang bijaksana menciptakan orang-orang zalim yang menyengsarakan dunia, lalu menghukum mereka di neraka, padahal Dia seharusnya mengetahui masa depan para penganiaya dan memiliki kuasa untuk menghentikan mereka?

Jika kita telaah lebih mendalam, pertanyaan ini sebenarnya merupakan sejenis loaded question, yaitu pertanyaan yang mengandung asumsi yang belum tentu benar. Dalam diskusi mengenai ‘permasalahan kejahatan’ ini, penanya beranggapan bahwa semua kejahatan di dunia adalah tanggung jawab Tuhan, karena Dia mengetahui apa yang akan terjadi, tetapi tetap menciptakan pelaku dan perbuatan jahat tersebut. Namun, asumsi ini tidak sepenuhnya benar. Memang, Allah (SWT) mengetahui dan menciptakan perbuatan zalim hamba-Nya, tetapi penciptaan tersebut sesuai dengan pilihan (kasb) hamba tersebut. Pengetahuan Allah (SWT) tidak menghilangkan kehendak bebas seorang hamba untuk memilih perbuatannya. Oleh karena itu, tindakan jahat seorang manusia adalah tanggung jawabnya sendiri.

Pertanyaan selanjutnya muncul: jika demikian, bukankah lebih baik Allah (SWT) tidak menciptakan manusia sama sekali sehingga kejahatan dan kesengsaraan tidak ada? Pemikiran ini berlandaskan asumsi keliru bahwa Allah (SWT) ‘wajib’ menghapuskan segala bentuk potensi kejahatan. Kekeliruan lain adalah anggapan bahwa ‘kebaikan’ dan ‘kejahatan’ adalah kategori moral yang juga berlaku bagi tindakan Tuhan. Kita tidak sepakat bahwa Allah (SWT) wajib melakukan sesuatu yang kita anggap ideal. Jika Allah (SWT) harus melakukan sesuatu, berarti Dia tidak memiliki kehendak mutlak dan dapat dipaksa untuk tunduk pada hal lain di luar diri-Nya.

Adanya paksaan atas tindakan Allah (SWT) adalah mustahil, karena segala sesuatu selain Allah (SWT) ada karena pilihan dan ciptaan-Nya. Pertanyaan lain yang muncul adalah: jika Allah (SWT) bebas untuk melakukan apa pun, termasuk menciptakan kejahatan, apakah itu berarti Allah (SWT) adalah Tuhan yang jahat? Pertanyaan ini timbul dari kesalahpahaman atas konsep ‘baik’ dan ‘buruk’ yang dianggap terpisah dari intervensi Tuhan. Padahal, Tuhan sebagai sumber keberadaan makhluk adalah juga sumber dari nilai-nilai. Oleh karena itu, konsep baik, buruk, suci, jahat, terpuji, dan tercela adalah nilai-nilai yang diciptakan oleh Allah (SWT) itu sendiri.

Sebagai contoh, kejujuran dianggap baik dan kebohongan dianggap buruk. Alasannya beragam, mulai dari dampak kejujuran dan kebohongan terhadap individu atau masyarakat, hingga ganjaran yang diberikan di akhirat. Semua itu terjadi karena model kehidupan yang Allah (SWT) ciptakan di dunia ini. Jika Allah (SWT) menciptakan model kehidupan di mana manusia dapat memenuhi kebutuhan mereka tanpa perlu mempertimbangkan informasi, maka nilai kejujuran dan kebohongan akan hilang.

Pada akhirnya, kebaikan dan kejahatan adalah nilai moral yang Allah (SWT) ciptakan untuk menguji perbuatan manusia. Menggunakan nilai-nilai moral tersebut untuk menilai kebijaksanaan Allah (SWT) adalah logika yang terbalik.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

March 15

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?