Bagi para ateis, keberadaan Tuhan sering kali dianggap tidak cukup untuk menjelaskan proses penciptaan alam semesta. Mereka berargumen bahwa penjelasan teologis mengenai asal-usul jagat raya masih memerlukan penelusuran lebih lanjut. Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah, “Kalau begitu, siapa yang menciptakan Tuhan?” Jawaban untuk pertanyaan ini sebenarnya sederhana: Tuhan tidak diciptakan oleh apapun. Berbeda dengan alam, Tuhan adalah dzat yang ada tanpa sebab dan permulaan. Namun, jawaban ini tidak selalu memuaskan bagi mereka yang tidak beriman, yang kemudian melontarkan pertanyaan lain, “Mengapa kita membutuhkan Tuhan untuk menjelaskan keberadaan alam semesta, tetapi tidak membutuhkan pencipta lain untuk menjelaskan keberadaan Tuhan itu sendiri?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, beberapa dalil dalam ilmu Kalam perlu diungkapkan. Alam semesta membutuhkan pencipta karena keberadaannya yang baru. Pencipta pertama dari keberadaan yang baru haruslah suatu dzat yang ada tanpa sebab dan permulaan, yang kemudian kita sebut sebagai Tuhan. Semua makhluk di alam semesta membutuhkan pencipta karena keberadaannya yang baru. ‘Baru’ di sini berarti bahwa keberadaannya memiliki permulaan, meskipun sudah berusia jutaan atau miliaran tahun. Kebaruan alam semesta tidak dapat diragukan karena fenomena perubahan yang konstan di dalamnya. Segala sesuatu yang dapat berubah pasti memiliki sifat baru.
Sebagaimana dinyatakan dalam kitab Tuhfatul Murid oleh Syekh Al-Baijuri, “Semua zat pasti memiliki sifat yang baru dan segala sesuatu yang demikian pasti baru adanya.” Dari dalil ini, kita dapat menyimpulkan bahwa segala sesuatu di alam raya ini memiliki permulaan. Keberadaan yang bermula pasti terjadi karena sebab yang mendahului. Misalnya, seorang anak lahir karena orang tuanya, pohon tumbuh dari biji yang ditanam, dan bangunan berdiri karena tukang yang membangunnya. Tidak ada satupun keberadaan bermula yang muncul secara tiba-tiba dari ketiadaan.
Permasalahannya, jika semua hal yang ada di alam ini kita tarik asal-usulnya ke belakang, di titik manakah rangkaian sebab-akibat akan berhenti? Ada dua opsi yang bisa diajukan: rangkaian sebab-akibat tidak memiliki titik mula sama sekali, atau ada titik mula atas rangkaian tersebut yang tidak disebabkan oleh apapun. Opsi pertama mustahil terjadi karena akan mengarah pada mata rantai tak berujung, yang dalam ilmu Kalam disebut dengan at-tasalsul.
Kemustahilan tasalsul dapat dibuktikan dengan pengandaian sederhana. Misalnya, jika kita bertanya kepada seseorang tentang asal-usul bunga yang indah di rumahnya, dan setiap kali kita bertanya, jawabannya selalu merujuk kepada orang lain, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa pasti ada sumber pertama. Dengan demikian, satu-satunya opsi yang mungkin bagi rantai eksistensi seluruh makhluk di alam semesta adalah dzat paling awal yang tidak disebabkan oleh apapun, yaitu dzat yang niscaya adanya (wajibul wujud).
Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Said Ramadhan Al-Buthi, “Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang berakal dapat mengandaikan eksistensi alam seluruhnya didasarkan pada reproduksi mata rantai tanpa didahului oleh satu dzat yang memiliki esensi di luar alam dan yang ada dengan niscaya.” Dzat wajibul wujud inilah yang kita sebut sebagai Tuhan, yang dalam agama Islam dikenal sebagai Allah.
Oleh karena itu, status eksistensi Tuhan bukan sekadar sebagai pencipta. Lebih dari itu, Tuhan adalah pencipta yang tidak disebabkan, yang harus ada untuk memutus kemustahilan mata rantai keberadaan alam semesta tanpa ujung. Dengan demikian, pertanyaan “Siapa yang menciptakan Tuhan?” adalah kalimat yang tidak logis karena membantah dirinya sendiri, sama seperti bertanya, “Siapa yang menciptakan dzat yang ada tanpa dicipta?” Ini adalah sebuah kontradiksi yang nyata.