Dalam ajaran Islam Ahlussunah wal Jama’ah, Allah (SWT) diyakini sebagai Tuhan yang menciptakan dan menentukan segalanya, termasuk perbuatan manusia, baik ketaatan maupun kemaksiatan. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran surat As-Shaffat ayat 96: “Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” Dari perspektif tauhid, keyakinan ini tidak bermasalah, mengingat sifat Allah (SWT) yang Maha Kuasa menegaskan bahwa tidak ada makhluk yang dapat eksis tanpa kehendak-Nya. Namun, manusia seringkali mempertanyakan keadilan Allah (SWT) dalam menghukum para pendosa jika Dia juga yang menciptakan tindakan mereka.
Untuk menjawab dilema ini, terdapat tiga poin penting yang perlu dipahami. Pertama, penciptaan Allah (SWT) atas perbuatan manusia tidak berarti paksaan. Allah (SWT) memberikan kemampuan untuk memilih atau free will kepada manusia. Dengan free will ini, manusia dapat memilih tindakan dari berbagai pilihan yang ada tanpa paksaan dari Allah (SWT). Kedua, proses pengambilan keputusan yang dilakukan manusia disebut kasb, yang didefinisikan oleh Syaikh Said Ramadhan Al-Buthi sebagai memilih sesuatu dengan tujuan dan tekad untuk melakukannya. Ini menunjukkan perbedaan antara kasb, sebagai keputusan manusia, dan al-fi’lu, yang merujuk pada tindakan itu sendiri. Ketiga, pertanggungjawaban manusia di hadapan Allah (SWT) didasarkan pada kasb, bukan al-fi’lu. Ini berarti balasan dari Allah (SWT) ditentukan oleh keputusan sadar manusia dalam memilih perbuatan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 286: “Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.”
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa meskipun perbuatan manusia adalah ciptaan Allah (SWT), manusia tetap bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya. Syekh Sa’duddin At-Taftazani menjelaskan bahwa jika seseorang berniat melakukan perbuatan baik, Allah (SWT) menciptakan kemampuan untuk melakukannya, dan sebaliknya, jika ia berniat berbuat buruk, Allah (SWT) juga menciptakan kemampuan untuk itu. Dengan demikian, seseorang yang menyia-nyiakan kemampuan berbuat baik akan pantas dicela dan dihukum.
Kesimpulannya, meskipun Allah (SWT) adalah pencipta segala perbuatan manusia, penciptaan tersebut didasarkan pada pilihan merdeka yang diberikan kepada manusia. Sebagai ilustrasi, ketika azan Subuh berkumandang, seseorang seperti Zaid memiliki pilihan untuk melanjutkan tidur atau pergi ke masjid. Keputusan Zaid untuk tidur adalah kasb, sedangkan tindakan tidurnya adalah ciptaan Allah (SWT). Pertanggungjawaban Zaid di akhirat akan didasarkan pada keputusannya untuk memilih tidur, bukan semata-mata pada tindakan tidurnya.
Dengan demikian, manusia sepenuhnya berhak untuk diadili berdasarkan keputusan perbuatannya yang merdeka, yang tetap berada dalam kekuasaan Allah (SWT), karena kemampuan untuk mengambil keputusan dan perbuatan yang dihasilkan adalah ciptaan-Nya. Wallahu a’lam.