- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Sifat Qidam dalam Pemahaman Tauhid

Google Search Widget

Ulama membahas sifat qidam dalam konteks eksistensi Allah (SWT). Dalam pandangan sebagian ulama Melayu, istilah “sedia” digunakan untuk menerjemahkan qidam, yang menunjukkan ketiadaan permulaan atas eksistensi Allah (SWT). Berbeda dengan makhluk lainnya, eksistensi Allah tidak didahului oleh fase kenihilan. Allah (SWT) tidak diciptakan oleh diri-Nya maupun oleh makhluk lain. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah, “Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan.” Hal ini menekankan bahwa qidam berarti Allah (SWT) tidak memiliki awal mula dalam eksistensinya.

Sebaliknya, istilah “hadits” atau “baru” merujuk pada sesuatu yang mengalami perubahan dari fase kenihilan menuju fase eksistensi. Keberadaan zat hadits atau baru selalu didahului oleh fase kenihilan dan diciptakan oleh sesuatu di luar dirinya. Dalam konteks ini, eksistensi Allah (SWT) yang tidak memiliki permulaan menjadikannya berbeda dari makhluk yang memiliki awal penciptaan.

Ulama tauhid berargumen bahwa karena Allah (SWT) adalah pencipta, maka Dia harus bersifat qidam. Sifat hadits atau baru adalah sifat kekurangan yang tidak layak dimiliki Allah (SWT). Jika Allah (SWT) tidak bersifat qidam, maka eksistensinya akan didahului oleh kenihilan, yang berarti Dia termasuk dalam kategori jaizul wujud/mumkinul wujud, yang dapat ada atau tidak ada. Hal ini akan mengarah pada kesimpulan bahwa Dia diciptakan oleh pihak lain, yang pada gilirannya juga harus diciptakan oleh zat sebelumnya yang tak terhingga. Oleh karena itu, sifat hadits adalah mustahil bagi Allah (SWT).

Ulama membagi sifat qidam menjadi tiga kategori: qidam dzati, qidam zamani, dan qidam idhafi. Qidam dzati merujuk pada ketiadaan permulaan zat Allah (SWT), qidam zamani berkaitan dengan ketiadaan durasi permulaan, dan qidam idhafi berhubungan dengan ketiadaan awal mula suatu hubungan, seperti relasi ayah dan anak.

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai pengertian qadim dan azali. Beberapa ulama berpendapat bahwa keduanya memiliki makna yang sama, yaitu segala sesuatu yang tidak memiliki permulaan, mencakup Allah (SWT) dan sifat-sifat-Nya. Di sisi lain, ada ulama yang berpendapat bahwa qadim merujuk pada zat yang tidak memiliki permulaan, sementara azali adalah segala sesuatu yang tidak memiliki permulaan, sehingga azali lebih umum daripada qadim.

Contohnya, zat Allah (SWT), sifat nafsiyah (wujud), dan sifat ma‘ani (qudratun, iradatun, ‘ilmun, hayatun, sama‘un, basharun, kalamun) dapat dikategorikan sebagai qadim, sedangkan sifat ma‘nawiyyah (qadirun, muridun, ‘alimun, hayyun, sami‘un, bashirun, mutakallimun) hanya dapat disebut azali, karena sifat ini adalah sifat hal, bukan sifat zat.

Dalam pembahasan sifat qidam, dapat disimpulkan bahwa Allah (SWT) tidak mengalami fase kenihilan sebelum wujud-Nya. Allah (SWT) adalah pencipta waktu dan berada di luar hukum waktu.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?