Takwil dan tafwidh merupakan dua pendekatan yang berbeda dalam memahami dalil-dalil nash Al-Qur’an dan hadits yang sering kali disalahartikan, sehingga dapat menyebabkan kesalahan dalam memahami sifat-sifat Allah (SWT). Contoh-contoh dalil yang dimaksud antara lain firman Allah (SWT) dalam QS Ar Rahmaan: 27 yang menyatakan, “Dan kekal ‘wajah’ Tuhan Pemeliharamu, Pemilik keagungan dan kemuliaan.” Selain itu, dalam QS Al Fath: 10, Allah (SWT) berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad (SAW)), sebenarnya mereka berjanji setia kepada Allah. ‘Tangan’ Allah di atas tangan mereka.” Terdapat pula sabda Nabi Muhammad (SAW) yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah (RA), “Tuhan Pemelihara kita tabaraka wa ta’ala ‘turun’ ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir.” (HR Al-Bukhari).
Sering kali, dalil-dalil ini disalahartikan menjadi anggapan bahwa Allah (SWT) memiliki wajah, tangan, dan tempat, bahkan berpindah tempat. Narasi seperti ini sering kali disampaikan oleh mereka yang tidak sejalan dengan Ahlussunnah wal Jamaah. Mereka berargumentasi, “Allah bilang Dia duduk, kalian tidak percaya. Allah bilang Dia punya tangan, kalian tidak percaya. Allah bilang Dia punya wajah, kalian tidak percaya.” Pemahaman ini muncul dari ketidaktahuan tentang cara yang benar dalam bersikap, sesuai dengan ajaran para ulama ketika menghadapi dalil-dalil tersebut.
Menurut Ahlussunnah wal Jamaah, takwil didefinisikan sebagai pengalihan arti suatu kata dari makna harfiahnya menuju makna lain, sementara tafwidh adalah menyerahkan sepenuhnya makna suatu kata kepada Allah (SWT) dengan tetap menjauhkannya dari makna harfiahnya. Dalam contoh di atas, para ulama yang melakukan takwil akan menjelaskan bahwa “tangan Allah” bukanlah anggota badan, melainkan simbol kekuasaan. Sementara itu, ulama yang menganut tafwidh akan menyatakan bahwa maksud dari “tangan Allah” bukanlah anggota badan, tetapi kita tidak mengetahui maksud sebenarnya dan menyerahkannya kepada Allah (SWT).
Syekh Ibrahim Al-Laqqani dalam Jauharatut Tauḥid menyatakan, “Setiap dalil nash yang mengesankan keserupaan (antara Allah dan makhluk-Nya), maka takwillah atau pasrahkanlah (arti sebenarnya kepada Allah) dan niatkanlah kesucian (Allah dari segala hal yang tidak pantas).” (Khamsatu Mutun fi ‘Ilmit Tauḥid, [Surabaya, Al-Hidayah], halaman 14). Syekh Ibrahim Al-Baijuri juga menambahkan dalam Ḥasyiyah-nya bahwa takwil berarti memalingkan makna dari makna harfiahnya dan menjelaskan makna yang dimaksud, sedangkan tafwidh berarti setelah melakukan takwil secara tidak terinci, kita pasrahkan arti yang dimaksud dari dalil nash tersebut kepada Allah (SWT).
Dalam tradisi ilmu kalam, tafwidh sering kali dianggap sebagai sikap generasi Salaf (para Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in), sedangkan takwil diambil oleh generasi Khalaf. Meskipun keduanya memiliki konsekuensi yang berbeda dalam penentuan makna, keduanya sepakat dalam memalingkan arti suatu kata dari makna harfiahnya. Namun, terdapat sekelompok umat Islam yang menolak takwil, termasuk kelompok Salafi-Wahabi, yang cenderung mengarah pada tajsim (penetapan jisim pada Allah (SWT)). Kelompok ini berpegang pada arti harfiah dari kata “tangan” dan “wajah” tanpa melakukan takwil.
Syekh Ibrahim Al-Baijuri menegaskan bahwa jika ada teks dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah yang mengindikasikan penetapan arah, fisik, atau rupa pada Allah (SWT), maka para ulama, baik Ahlussunnah wal Jamaah maupun lainnya, sepakat untuk melakukan interpretasi tersebut (ta’wil ijmali), demi menjaga kesucian Allah (SWT) dari apa yang ditunjukkan oleh lahiriah teks tersebut.
Dengan demikian, perbedaan utama antara keyakinan kita sebagai umat Islam yang menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah dan kelompok Salafi-Wahabi terletak pada pendekatan takwil ijmali. Wallahu a’lam.