Peristiwa Isra’ Miraj merupakan momen penting dalam sejarah umat Islam. Isra’ merujuk pada perjalanan malam Nabi Muhammad (SAW) dari Makkah menuju Masjid Al-Aqsa, sedangkan Miraj adalah perjalanan dari Masjid Al-Aqsa menuju Sidratul Muntaha. Dalam perjalanan yang luar biasa ini, Nabi Muhammad (SAW) menyaksikan keadaan orang-orang yang disiksa di neraka dan orang-orang yang berada di surga. Selain itu, beliau juga dipertemukan dengan para nabi terdahulu dan menerima perintah untuk melaksanakan sholat lima waktu.
Puncak dari perjalanan ini adalah pertemuan Nabi Muhammad (SAW) dengan Allah di Sidratul Muntaha. Namun, muncul pertanyaan apakah pertemuan ini berarti Nabi Muhammad (SAW) melihat Allah secara langsung. Para sahabat Nabi terbagi dalam dua pendapat. Sayyidah ‘Aisyah berpendapat bahwa Nabi Muhammad (SAW) tidak melihat Allah di Sidratul Muntaha, melainkan hanya melihat malaikat Jibril. Hal ini dikuatkan oleh hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad (SAW) melihat sebagian tanda-tanda kebesaran Allah, dan yang dilihatnya adalah Jibril.
Di sisi lain, sahabat Ibnu Abbas berpendapat bahwa Nabi Muhammad (SAW) melihat Allah dengan hatinya. Dalam tafsirnya, Ibnu Abbas menjelaskan bahwa hati Nabi Muhammad (SAW) tidak mendustakan apa yang dilihatnya, yang menunjukkan bahwa penglihatan tersebut adalah pengalaman spiritual yang mendalam.
Ada beberapa catatan penting mengenai pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah terkait peristiwa ini. Pertama, melihat Allah tidak berarti Allah berada di Sidratul Muntaha, karena Allah tidak membutuhkan tempat untuk berdiam. Kedua, melihat Allah tidak berarti Allah terbatasi oleh arah tertentu, karena Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya. Ketiga, melihat Allah tidak berarti Allah memiliki bentuk fisik, karena Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya.
Kemampuan Nabi Muhammad (SAW) untuk melihat Allah adalah anugerah khusus dari Allah, yang tidak dapat dibandingkan dengan penglihatan manusia biasa. Allah memberikan kemampuan melihat kepada hamba-Nya di waktu dan tempat yang telah ditentukan. Melihat Allah adalah sesuatu yang mungkin terjadi, karena Allah adalah zat yang ada, tetapi tidak diizinkan bagi manusia biasa untuk melihat-Nya di dunia, kecuali Nabi Muhammad (SAW) saat berada di Sidratul Muntaha.
Di akhirat, umat Islam yang beriman akan melihat Allah dengan jelas, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang menyamakan penglihatan Allah dengan melihat rembulan di malam purnama. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sahabat mengenai apakah Nabi Muhammad (SAW) melihat Allah, perbedaan ini tidak menyebabkan saling mengkafirkan atau menganggap sesat, menunjukkan bahwa melihat Allah adalah hal yang mungkin secara akal. Berbeda dengan pendapat Mutazilah yang menyatakan bahwa melihat Allah tidak mungkin terjadi baik di dunia maupun di akhirat.