Perdebatan mengenai akar kata sering kali memicu berbagai pendapat di kalangan pakar semantik. Tak hanya dalam Bahasa Indonesia, bahasa-bahasa lain di dunia juga menyimpan perdebatan yang tak terhitung jumlahnya. Salah satu contoh yang mencolok adalah lafal Allah dalam Bahasa Arab, yang menjadi topik hangat di kalangan ulama. Mereka berdebat tentang apakah lafal Allah merupakan derivatif atau tidak. Ibnul Qayyim al-Jauziyah bahkan menyebutnya sebagai a’zhamal ikhtilaf, atau silang pendapat terbesar. Namun, karena tema ini tidak berkaitan langsung dengan akidah yang telah melekat di hati banyak umat Islam, perdebatan ini sering kali terabaikan, khususnya di Indonesia.
Meskipun demikian, penting untuk memperhatikan hal-hal semacam ini dalam konteks intelektual umat. Pengetahuan, sekecil apapun, dapat menambah kesadaran dan makrifat seseorang terhadap Tuhannya. Terkait dengan derivasi lafal Allah, para ulama dari berbagai zaman telah menyampaikan pandangan yang beragam. Secara umum, terdapat dua golongan: (1) golongan yang meyakini lafal Allah bukanlah derivatif (ghairul musytaqq), dan (2) golongan yang berpendapat sebaliknya, bahwa lafal Allah adalah lafal derivatif (al-musytaqq).
Golongan pertama, yaitu mutakallimin, berpendapat bahwa lafal Allah tidak diambil dari lafal lain. Di antara mereka, Imam Abu Hamid al-Ghazali memberikan kritik tajam terhadap pendapat yang menyatakan bahwa lafal Allah adalah derivatif. Ia berargumen bahwa upaya untuk mengaitkan lafal Allah dengan derivasi adalah bentuk kekacauan berpikir. Argumentasi ini didasarkan pada beberapa poin penting: Pertama, lafal derivatif memiliki makna yang universal, sehingga jika lafal Allah termasuk derivatif, maka siapa pun dapat menggunakannya, yang bertentangan dengan sifat eksklusif lafal Allah. Kedua, lafal derivatif biasanya merepresentasikan suatu sifat, tetapi lafal Allah adalah nama murni. Ketiga, lafal derivatif harus bersanding dengan nama satu zat, sementara lafal Allah berdiri sendiri sebagai nama murni.
Di sisi lain, golongan Mu’tazilah, yang dipimpin oleh Washil bin Atha’, berpendapat bahwa lafal Allah adalah derivatif. Mereka menganggap bahwa semua nama Allah, termasuk lafal Allah, mencerminkan sifat-sifat-Nya. Mereka berargumen bahwa lafal Allah tidak mungkin dianggap sebagai nama murni karena Allah subhanahu wa ta’ala suci dari segala bentuk fisik.
Membaca argumentasi dari kedua golongan ini dapat menimbulkan kebingungan di kalangan umat. Namun, Ibnul Qayyim al-Jauziyah memberikan penjelasan yang jelas bahwa lafal Allah bukanlah derivatif, karena nama Allah bersifat kadim dan tidak mungkin berasal dari yang baru. Kesimpulan ini mengajak kita untuk memahami bahwa lafal Allah memiliki kedudukan yang unik dan tidak dapat dibandingkan dengan lafal-lafal lainnya.
Dengan demikian, perdebatan mengenai derivasi lafal Allah bukan hanya sekadar perdebatan akademis, tetapi juga mencerminkan kedalaman pemahaman kita terhadap nama dan sifat Allah. Semoga diskusi ini bermanfaat dan menambah wawasan kita dalam memahami hakikat lafal Allah.