Diskusi atau perdebatan mengenai aqidah adalah hal yang sangat tidak disukai oleh Nabi Muhammad (SAW). Salah satu riwayat yang terkenal menyatakan bahwa Nabi melarang pembicaraan tentang takdir. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad (SAW) mendapati sahabat-sahabatnya berselisih mengenai masalah takdir dan beliau marah hingga wajahnya memerah. Beliau menekankan agar tidak berselisih dalam masalah ini, karena hal tersebut telah menyebabkan kebinasaan bagi umat-umat sebelumnya.
Namun, meskipun ada larangan tersebut, sejarah mencatat bahwa pada masa hidup Nabi Muhammad (SAW), terjadi dua perdebatan besar mengenai aqidah yang akhirnya melahirkan perbedaan pemahaman di kalangan umat Islam. Perdebatan ini menjadi bibit munculnya kelompok-kelompok di luar Ahlusunnah wal Jamaah.
Perdebatan pertama terjadi dalam peristiwa Dzu al-Khuwaisirah, seorang Muslim dari Bani Tamim yang merasa lebih baik dari Nabi Muhammad (SAW) dan berani meminta Nabi untuk berlaku adil saat beliau membagikan harta rampasan setelah perang Hunain. Nabi Muhammad (SAW) menjawab bahwa jika beliau saja tidak bisa berbuat adil, siapa lagi yang bisa. Umar bin Khattab menawarkan untuk menghukum Dzu al-Khuwaisirah, tetapi Nabi melarangnya, menyatakan bahwa ia akan memiliki pengikut yang meremehkan ibadah mereka dan keluar dari agama seperti anak panah yang melesat dari sasaran. Dzu al-Khuwaisirah dan pengikutnya kemudian dikenal sebagai Khawarij, yang menganggap semua yang terlibat dalam peristiwa perang Shiffin layak dibunuh.
Perdebatan kedua terjadi pada saat perang Uhud, di mana sekelompok munafik memperdebatkan soal takdir, mempertanyakan apakah mereka memiliki hak campur tangan dalam urusan tersebut. Imam al-Syahrastani menyatakan bahwa perdebatan ini menjadi cikal bakal kelompok Qadariyah, yang berpendapat bahwa manusia memiliki kehendak bebas yang terlepas dari kuasa Allah (SWT). Nabi Muhammad (SAW) telah mengidentifikasi kelompok ini sebelumnya dan menyebut mereka sebagai “majusi umat ini.”
Di sisi lain, terdapat juga kelompok musyrik yang berpendapat tentang keterpaksaan dalam kehidupan manusia, yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. Argumen-argumen ini dikategorikan sebagai argumen Jabariyah, yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki daya upaya dan segala sesuatu bergantung pada kehendak Allah (SWT). Pada masa kepemimpinan Muawiyah, pemikiran dari aliran teologi ini sering dimanfaatkan oleh penguasa untuk menghindari tanggung jawab atas tindakan mereka.
Dengan demikian, penting bagi umat Islam untuk memahami bahwa diskusi mengenai aqidah harus dilakukan dengan bijaksana dan tidak menimbulkan perpecahan di antara umat. Wallahu a’lam bis shawab.